Senin, 31 Oktober 2011

PERIKATAN DALAM PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN RUMPON
DI WILAYAH PESISIR MUARA BADAK
DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA INDONESIA

ABSTRAKSI

 Indonesia memiliki sumber daya dan keanekaragaman hayati sangat penting dan strategis artinya bagi kelangsungan kehidupannya sebagai sebuah negara. Hal ini bukan semata-mata karena posisinya sebagai salah satu negara yang berpotensi tinggi dalam keanekaragaman hayati, tetapi justru karena keterkaitannya yang erat dengan budaya lokal yang dimiliki oleh negara ini.
Diketahui bahwa masyarakat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati alami, salah satunya adalah tetap terjaga dan digunakannya budaya penangkapan ikan dengan menggunakan cara Rumpon.
Rumpon adalah alat bantu penangkapan ikan yang terdiri dari pelampung (bambu atau gabus), alat pemikat (daun kelapa yang dipasang di bawah pelampung), dan pemberat (batu) Rumpon mirip dengan sebuah rakit yang aturan pembuatan dan pemanfaatannya berada di tengah laut.
Rumpon sendiri sebetulnya merupakan kebudayaan bahari asli masyarakat Mandar di Sulawesi Barat, dimana budaya penggunaan Rumpon ternyata di dapati pula di wilayah pesisir Muara Badak Kalimantan Timur. Di wilayah pesisir tersebut banyak didapati nelayan-nelayan yang menggunakan teknologi Rumpon, akan tetapi menjadi sebuah ketertarikan tersendiri ketika ternyata keharmonisan diantara para nelayan tetap terjaga satu dengan yang lainnya dalam kurun waktu yang lama, sekalipun hampir seluruh penduduk setempat berprofesi sebagai nelayan, terutama dalam persoalan pemerataan rejeki dari hasil tangkapan.

Perempuan, Hutan dan Pertambangan
Oleh : Haris Retno Susmiyati

Pertambangan merupakan kegiatan ekstraktif yang menjadi sumber pendapatan negara dan daerah namun diyakini juga membawa dampak negatif bagi perempuan dan lingkungan. Luas kawasan pertambangan di Indonesia mencapai 84.152.876 ha (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral 2000) dan sekitar 11.038.415 ha diantaranya berada di kawasan hutan lindung dan konservasi (FWI dan Kehati 2000).
Kalimantan Timur adalah bagian dari wilayah Kalimantan ( Borneo ) yang merupakan  pulau terbesar ketiga setelah greenland dan pulau Irian[1], Luas wilayah Kalimantan timur 10% dari luas wilayah Indonesia yaitu,  dengan luas  245.237,8 Km2 atau 24.523.780 Ha, 97 Kecamatan, 1276 desa dengan  penduduk 2.489.988 jiwa dengan komposisi laki-laki 1.292.210 jiwa dan perempuan 1.197.778 jiwa,  Kepadatan penduduk rata-rata 12,43 orang/ km2 atau 9,8 ha/orang dengan mata pencaharian sebagai petani Sawah, ladang, Nelayan, Petambak, Dengan adanya perkembangan dan pemekaran wilayah, Maka Kalimantan Timur dibagi menjadi 8 kabupaten, 4  kota, 97 Kecamatan dan 1.276 Desa/Kelurahan.[2]
Saat ini sumber daya alam Kalimantan Timur sedang menjadi primadona untuk investasi khususnya di sektor pertambangan baik Tambang Migas Maupun tambang Non migas. Perusahaan Pertambangan yang beroperasi di  Kalimantan Timur sebanyak 106 perusahaan pertambangan dengan rincian sebagai berikut, pertambangan emas 9 perusahaan dengan luasan konsesi 1.354.897 ha, batu bara 4.354.894 ha , base metal ( besi ) 4 perusahaan dengan luasan konsesi 2.418.900 ha dan pertambangan Migas luas wilayah KPSnya 2.869.950 Ha ( darat dan pesisir ). jadi luas keseluruhan wilayah Kalimantan timur yang dijadikan areal pertambangan sebesar 10.998.641,038 ha.[3], jadi ada 44,85% wilayah Kalimantan Timur diperuntukkan untuk Pertambangan Batubara, Besi, Emas dan Migas sementara areal perkebunan 275.536 ha dan untuk HPH ada 71 perusahaan dengan luas areal 5.830.000 ha serta HTI ada 16 perusahaan dengan luas areal 814.803 ha. Sehingga jumlah keseluruhan wilayah Kalimantan Timur yang di peruntukkan untuk pertambangan, perkebunan, HPH dan HTI ada 17.918.980,04 ha atau 73,07 % luas wilayah Kalimantan Timur.[4]
Ditengah laju deforestasi hutan di Indonesia yang mencapai 2,4 juta ha pertahun, alokasi 44,85 % bagi pertambangan sangatlah besar. Terlebih jika kita lihat kondisi hutan lindung kita yang menjadi basis terakhir penjaga kelestarian lingkungan ternyata tak luput dari tekanan kerusakan hutan, bahkan ada rencana pemerintah untuk membuka kawasan lindung ini sebagai areal pertambangan.

Kondisi Perempuan ?
            Penduduk  perempuan di Kalimantan Timur  sebanyak 1.197.778 jiwa[5], atau hampir 50% dari keseluruhan penduduk. Bukan jumlah yang sedikit. Seperti juga rakyat Kalimantan Timur yang akses terhadap sumber daya alam terpinggirkan, perempuan mengalami nasib yang sama. Bahkan perempuan seringkali mengalami derita lebih berat dari laki-laki. Perempuan dan laki-laki sama-sama termiskinkan karena penetrasi modal, namun perempuan selalu mengalami kemiskinan yang lebih dari laki-laki. Perempuan-perempuan disekitar areal pertambangan harus tergusur dari wilayah kelolanya. Dampaknya terjadi pemiskinan tehadap perempuan yang mengakibatkan perempuan harus menggantungkan hidupnya pada anggota keluarga yang lain.
Kemiskinan yang dialami perempuan terbanyak justru terdapat dikampung. Berdasarkan data BPS Kalimantan Timur 75% kemiskinan rakyat berada di desa. Sedangkan masyarakat miskin di kota hanya 25%. Bahkan pada tahun 2002 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin di desa secara signifikan dari jumlah 184.970 jiwa meningkat dalam kurun waktu setahun menjadi 237.300 jiwa.[6] Hal ini sangat ironis ketika kita mengetahui bahwa prosentase pengerukan Sumber Daya Alam justru berada di desa. Ini merupakan salah satu indikasi bahwa pengerukan SDA tidak secara signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat bahkan secara nyata justru mengakibatkan kemiskinan.

Dampak Penambangan Minyak dan Gas Di Wilayah Pesisir
(Studi di Kampung Terusan Desa Sebuntal Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara)

Oleh :
Haris Retno Susmiyati
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Samarinda Kaltim
Email : harisretno@yahoo.co.id

Abstract :
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki wilayah laut dengan luas lebih dari dua pertiga wilayah nasional dan wilayah laut dengan luas lebih dari dua pertiga wilayah nasional dan wilayah pesisirnya terletak disepanjang panatai yang panjangnya 81.000 km.
Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi sumber Daya Alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan penyangga kedaulatan bangsa. Pengelolaan wilayah pesisir berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 dilaksanakan dengan tujuan (1) melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan; (2) menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau kecil; (3) memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan; dan (4) meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Salah satu potensi yang terdapat diwilayah pesisir adalah penambangan Minyak dan Gas Bumi. Lebih dari 70% kegiatan perminyakan akan berada di sekitar garis pantai. Pengaturan tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001.
 Namun aktivitas penambangan tersebut telah menimbulkan berbagai persoalan seperti yang terjadi di wilayah kampung Terusan Desa Sebuntal Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara oleh perusahaan pertambangan migas PT Unocal-Chevron. Beberapa persoalan yang terjadi adalah kerusakan dan pencemaran lingkungan pesisir; penurunan penghasilan masyarakat pesisir; terjadinya kekerasan serta bergesernya nilai-nilai sosial yang dianut masyarakat.
Penghasilan setelah terjadi pencemaran pantai sangat terpengaruh. Sebelum terjadi pencemaran, pada saat musim bibit hasil tangkapan dapat mencapai 10.000 ekor dalam satu hari. Sekarang hasil yang terbesar tidak lebih dari 300 ekor dan terkadang tidak ada sama sekali. Ketika musim angin utara adalah masa dimana limbah Unocal masuk ke pantai Terusan sehingga musim angin Utara bukan merupakan musim bibit lagi karena pada saat limbah masuk bibit udang menghilang. Pengaruh limbah terhadap hasil tangkapan bibit mulai terjadi sejak tahun 1987, namun dampak terbesar terjadi sejak tahun 1992 hingga sekarang. Dampak tersebut hingga saat ini belum ada penyelesaian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 11 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen, ketentuan ini melarang terjadinya pencemaran laut dan udara diatasnya, serta kewajiban untuk mencegah meluasnya pencemaran tersebut.  Demikian juga Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dampak Penambangan Migas PT Unocal-Chevron di Kampung Terusan Desa Sebuntal Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara perlu segera diupayakan penyelesaian. Upaya yang perlu dilakukan adalah penegakan hukum terhadap terjadinya dampak yang merugikan serta segera dilakukan rehabilitasi terhadap kondisi pesisir yang mengalami kerusakan dan pencemaran lingkungan.