Perempuan, Hutan dan Pertambangan
Oleh : Haris Retno Susmiyati
Pertambangan
merupakan kegiatan ekstraktif yang menjadi sumber pendapatan negara dan daerah
namun diyakini juga membawa dampak negatif bagi perempuan dan lingkungan. Luas
kawasan pertambangan di Indonesia
mencapai 84.152.876 ha (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral 2000) dan
sekitar 11.038.415 ha diantaranya berada di kawasan hutan lindung dan
konservasi (FWI dan Kehati 2000).
Kalimantan
Timur adalah bagian dari wilayah Kalimantan ( Borneo ) yang merupakan pulau terbesar ketiga setelah greenland dan
pulau Irian[1], Luas
wilayah Kalimantan timur 10% dari luas wilayah Indonesia yaitu, dengan luas
245.237,8 Km2 atau 24.523.780 Ha, 97 Kecamatan, 1276 desa dengan penduduk 2.489.988 jiwa dengan komposisi
laki-laki 1.292.210 jiwa dan perempuan 1.197.778 jiwa, Kepadatan penduduk rata-rata 12,43 orang/ km2
atau 9,8 ha/orang dengan mata pencaharian sebagai petani Sawah, ladang,
Nelayan, Petambak, Dengan adanya perkembangan dan pemekaran wilayah, Maka
Kalimantan Timur dibagi menjadi 8 kabupaten, 4
kota, 97 Kecamatan dan 1.276 Desa/Kelurahan.[2]
Saat ini sumber daya alam Kalimantan Timur sedang
menjadi primadona untuk investasi khususnya di sektor pertambangan baik Tambang
Migas Maupun tambang Non migas. Perusahaan Pertambangan yang beroperasi di Kalimantan Timur sebanyak 106 perusahaan
pertambangan dengan rincian sebagai berikut, pertambangan emas 9 perusahaan
dengan luasan konsesi 1.354.897 ha, batu bara 4.354.894 ha , base metal ( besi
) 4 perusahaan dengan luasan konsesi 2.418.900 ha dan pertambangan Migas luas
wilayah KPSnya 2.869.950 Ha ( darat dan pesisir ). jadi luas keseluruhan
wilayah Kalimantan timur yang dijadikan areal pertambangan sebesar 10.998.641,038 ha.[3], jadi ada 44,85% wilayah Kalimantan Timur
diperuntukkan untuk Pertambangan Batubara, Besi, Emas dan Migas sementara areal
perkebunan 275.536 ha dan untuk HPH ada 71 perusahaan dengan luas areal
5.830.000 ha serta HTI ada 16 perusahaan dengan luas areal 814.803 ha. Sehingga
jumlah keseluruhan wilayah Kalimantan Timur yang di peruntukkan untuk
pertambangan, perkebunan, HPH dan HTI ada 17.918.980,04
ha atau 73,07 % luas wilayah Kalimantan
Timur.[4]
Ditengah laju deforestasi hutan di Indonesia yang
mencapai 2,4 juta ha pertahun, alokasi 44,85 % bagi pertambangan sangatlah
besar. Terlebih jika kita lihat kondisi hutan lindung kita yang menjadi basis
terakhir penjaga kelestarian lingkungan ternyata tak luput dari tekanan
kerusakan hutan, bahkan ada rencana pemerintah untuk membuka kawasan lindung
ini sebagai areal pertambangan.
Kondisi Perempuan ?
Penduduk perempuan di Kalimantan Timur sebanyak 1.197.778 jiwa[5], atau hampir 50% dari keseluruhan
penduduk. Bukan jumlah yang sedikit. Seperti juga rakyat Kalimantan Timur yang
akses terhadap sumber daya alam terpinggirkan, perempuan mengalami nasib yang
sama. Bahkan perempuan seringkali mengalami derita lebih berat dari laki-laki.
Perempuan dan laki-laki sama-sama termiskinkan karena penetrasi modal, namun
perempuan selalu mengalami kemiskinan yang lebih dari laki-laki.
Perempuan-perempuan disekitar areal pertambangan harus tergusur dari wilayah
kelolanya. Dampaknya terjadi pemiskinan tehadap perempuan yang mengakibatkan
perempuan harus menggantungkan hidupnya pada anggota keluarga yang lain.
Kemiskinan yang dialami perempuan terbanyak justru
terdapat dikampung. Berdasarkan data BPS Kalimantan Timur 75% kemiskinan rakyat
berada di desa. Sedangkan masyarakat miskin di kota hanya 25%. Bahkan pada
tahun 2002 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin di desa secara signifikan
dari jumlah 184.970 jiwa meningkat dalam kurun waktu setahun menjadi 237.300
jiwa.[6] Hal ini sangat ironis ketika kita
mengetahui bahwa prosentase pengerukan Sumber Daya Alam justru berada di desa.
Ini merupakan salah satu indikasi bahwa pengerukan SDA tidak secara signifikan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat bahkan secara nyata justru mengakibatkan
kemiskinan.
Tahun
|
Jumlah
|
Desa
|
Kota
|
||
Jumlah
|
Persentase
|
Jumlah
|
Persentase
|
||
1998
|
779.415
|
452.535
|
58,06%
|
326.880
|
34,07%
|
1999
|
401.760
|
239.756
|
59,53%
|
162.604
|
40,47%
|
2000
|
532.751
|
243.971
|
45,79%
|
288.780
|
54,21%
|
2001
|
392.137
|
184.970
|
47,17%
|
207.158
|
52,83%
|
2002
|
313.040
|
237.300
|
75,81%
|
75.700
|
24,19%
|
Sumber : Data BPS Kaltim 2002
Berdasarkan berbagai kajian yang dilakukan Tim Kerja
Perempuan dan Tambang Kalimantan Timur ada berbagai persoalan yang harus
dihadapi perempuan akibat operasional pertambangan antara lain :
a.
Dampak Ekonomi :
(1) Terampasnya
Wilayah Kelola Perempuan
Industri
pertambangan selalu bersinggungan dengan wilayah kelola rakyat. Konflik-konflik
yang muncul dikarenakan wilayah rakyat diklaim atau dirampas oleh perusahaan
pertambangan. “Kami Tak dapat menanam diatas pipa” penuturan ibu Komariyah,
perempuan kampung Kutai yang tanah kebunnya dirampas dua Perusahaan Migas asal
Amerika (PT Unocal dan VICO) untuk jalur pipa[8] Akibat perampasan tersebut
ibu Komariyah tidak dapat lagi mengolah kebunnya.
Perampasan wilayah kelola perempuan tidak
hanya terjadi di pertambangan MIGAS namun juga di pertambangan Batubara,
misalnya seperti kasus Masyarakat Desa Sekerat
yang merupakan korban perampasan tanah dengan dalih untuk Jalur Hijau
oleh PT. KPC (Kaltim Prima Coal), salah satu perusahaan tambang besar di dunia.
Menurut data pelepasan hak jumlah masyarakat yang tanahnya digunakan untuk
Jalur Hijau ada seluas 20.482.608 M2 = 20.482 ha meliputi 287 KK, dari data
tersebut dapat kita simpulkan ada 287 perempuan yang juga kehilangan wilayah
kelolanya. Tanah seluas 20.482.608 di hargai sebesar Rp. 243.595.608,95 (dua ratus empat puluh tiga juta lima ratus sembilan puluh
lima ribu enam
ratus delapan sembilan puluh lima
sen) sehingga rata-rata harga tanah masyarakat per M2= Rp. 11,9 atau Rp.
11.000/per ha ini sudah termasuk tanam tumbuh dan benda-benda lain yang ada
diatasnya. Sedangkan tanah yang diberi lebel sebagai tanah negara bebas oleh
Tim pembebasan tanah Kabupaten Kutai
luas tanah 208.926 M2 = 208 ha (Sumber: data surat pelepasan hak) dan luas tanah
masyarakat yang diukur tapi dinyatakan tanah negara bebas 884.000 M2 = 884 ha
sehingga jumlah tanah yang dinyatakan sebagai tanah negara bebas ada 1092 ha,
Pemilik 60 orang.[9]
(2) Hilangnya /
Perubahan Paksa terhadap Mata Pencarian
Perempuan
Mata pencarian utama masyarakat Sekerat sebelum terjadi perampasan tanah
oleh KPC, adalah sebagai petani. Secara khusus di dusun Sekurau Bawah laki-laki
dan perempuan selain petani (kebun dan sawah) juga sebagai pembuat gula merah
serta sebagian bertambak. Tetapi dengan datangnya KPC dan merampas tanah-tanah
rakyat maka mata pencarianpun dipaksa berubah. Laki-laki di dusun Sekurau bawah
berubah mata pencariannya menjadi Buruh senso kayu atau menjadi nelayan.
Pekerjaan sebagai pembuat gula merah tetap ada tetapi kuantitas produksi dan
pendapatan menurun.
Perempuan lebih ironis, karena mata pencarian yang tersisa tinggal membuat
gula merah. Bagi perempuan yang sebelum perampasan hanya bertani dan tidak
membuat gula merah praktis tidak ada penghasilan lagi. Kehidupannya sepenuhnya
tergantung pada laki-laki, yang bekerja buruh senso kayu atau nelayan. “… dulu kami perempuan tidak pernah pusing
jika laki-laki sedang pergi kami tetap bisa makan, karena beras tersedia, sayur
ada, kalau ingin ikan tinggal ambil di empang. Bahkan tetangga yang butuh ikan
boleh ambil sendiri, sering di kampung kalau ada selamatan mereka bisa ambil
ikan di empang kami tanpa bayar. Tetapi setelah tanah kami diambil KPC semua
milik kami tidak ada lagi, perempuan tidak bisa makan kalau laki-laki tidak
pergi bekerja senso kayu atau kerja lain yang dapat uang karena semua sekarang
harus dibeli...sungguh susah hidup sekarang.”[10](dituturkan Ibu
Mar) Hilangnya mata pencarian bagi
perempuan membuat perempuan menjadi sosok yang tergantung pada laki-laki
(suami, ayah, kakak laki-laki, adik laki-laki bahkan anak laki-laki).
Selain itu Sebagian Perempuan beralih menjadi pembuat arang. Keseluruhan
proses dilakukan sendiri oleh perempuan, mulai mengambil kayu sampai membakar
dan menjualnya. Laki-laki tidak ada yang mau kerja sebagai pembuat arang
meskipun penghasilan membuat arang sangat lumayan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Laki-laki lebih memilih beralih kerja senso kayu/buruh kayu atau
terpaksa beralih menjadi nelayan. Namun meskipun tanah telah diambil kembali
oleh rakyat (reklaiming), perempuan
tidak lagi dapat membuat arang karena kayu yang lokasinya dekat perkampungan
sudah habis. Karena kesulitan memperoleh kayu perempuan tidak ada lagi yang
membuat arang. Semakin sulitnya kayu terutama karena kegiatan senso kayu yang
semakin meningkat, sehingga kayu semakin sulit didapat. Sehingga perempuan
tidak ada aktivitas produksi akibatnya hidup perempuan tergantung kerja
laki-laki. Sementara kegiatan pertanian belum mampu pulih sepenuhnya.
(3)
Hilangnya/Menurunnya Penghasilan Perempuan
Perempuan Nelayan yang tinggal di kampung Bagang disekitar kawasan
pertambangan MIGAS PT UNOCAL, turut
merasakan dampak dari kegiataan operasional perusahaan tersebut. Limbah cair
yang dibuang ke laut mencemari pantai Rapak Lama menyebabkan menurunnya hasil
tangkapan ikan dan nelayan harus pindah ketempat yang tidak tercemar (lebih
jauh dari pantai). Hal ini menyebabkan biaya operasional meningkat.Perempuan
pencari bibit dengan alat Rumpong harus mengalami penurunan penghasilan akibat
pencemaran pantai. Perempuan warga Terusan memiliki mata pencarian mencari
bibit udang (Benur) dengan memakai alat Rumpong. Alat ini memang umumnya digunakan oleh
perempuan dan anak-anak. Alat ini tidak hanya dipasang pada tepi pantai tetapi
juga pada tempat-tempat yang dalam seperti pinggir-pinggir hutan nipah,
sehingga mereka memerlukan kapal kecil untuk mengambil isi rumpong. Resiko
kecelakaan menggunakan alat ini lebih besar karena posisi rumpong harus
tenggelam sehingga letaknya jauh dari pantai dan dalam. Hal ini berbeda dengan
bila menggunakan porok yang dioperasikan hanya dipinggir-pinggir pantai saja .
Rumpong banyak ditemui pada muara sungai.
Penghasilan
setelah terjadi pencemaran pantai sangat terpengaruh. Sebelum terjadi
pencemaran, pada saat musim bibit hasil tangkapan dapat mencapai 10.000 ekor
dalam satu hari. Sekarang hasil yang terbesar tidak lebih dari 300 ekor dan
terkadang tidak ada sama sekali. Ketika musim angin utara adalah masa dimana
limbah Unocal masuk ke pantai Terusan sehingga musim angin Utara bukan
merupakan musim bibit lagi karena pada saat limbah masuk bibit udang
menghilang. Pengaruh limbah terhadap hasil tangkapan bibit mulai terjadisejak
tahun 1987, namun dampak terbesar terjadi sejak tahun 1992 hingga sekarang.
Kehilangan bibit yang terbesar terjadi setelah dilakukan kegiatan seismic tahun
1998 oleh PT Alico Kontraktor Total, dimana selama + 2 bulan bibit udang
menghilang.[11]
Bagi perempuan di kawasan Delta Mahakam Kehadiran perusahaan Pertambangan
Migas yang melakukan eksplorasi di laut berdampak terhadap perekonomian perempuan,
karena kaum perempuan yang bermata pencaharian sebagai pencari Nener menurun
pendapatannya, dan yang paling di rasakan pada tahun 1998 di mana perusahaan
Total Indonesia dan Vico melakukan Siesmic dan pembuatan Rig di mana terjadi
kematian massal udang masyarakat di dalam tambak jumlah udang yang mati ada 16
juta ekor dengan luasan tambak sekitar 450 ha, di samping itu juga bersamaan
dengan hilangnya nener di perairan sementara, dengan hilangnya nener di
perairan ini berakibat dengan hilangnya mata pencahaharian kaum perempuan
karena hampir 90% pencari nener adalah kaum perempuan sebelum adanya Seismic
dan Rig rata-rata penghasilan pencari nener 3000 ekor/hari nener dengan adanya
seismic penghasilan mereka paling banyak 300 ekor/ hari.[12]
Perempuan di
kawasan Kelian yang secara turun temurun bersama laki-laki menjadi penambang
emas, sejak beroperasinya PT KEM, harus kehilangan mata pencariannya. Bahkan
kegiatan berladang dan berkebunpun tidak dapat dilakukan karena tanah mereka
telah dikuasai PT. KEM. Penghasilan dari praktek pertambangan rakyat jika
dihitung hasilnya 2 gr perorang dengan
harga emas Rp. 85.000/gr X 2 = 17.000,/hari dengan hasil tersebut tentu
sangat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun ketika PT KEM beroperasi
kemakmuran tidak dapat lagi dirasakan lagi. Penambangan tidak dapat dilakukan
lagi. Kesulitan untuk mencari penghasilan menjadi fenomena disetiap sudut
kampung.Kondisi ekonomi masyarakat terus menurun, karena kebun-kebun sebagian
digusur, dan menambang terus dibatasi dan dilarang. Sehingga tidak ada lagi
sumber mata pencarian yang dapat dijadikan penopang hidup.[13]
b.
Dampak Sosial :
Adanya
pergeseran nilai-nilai adat yang dijunjung selama ini serta memunculkan
konflik-konflik horisontal diantara masyarakat
Masuknya perusahaan pertambangan hadir bersama
nilai-nilai yang seringkali berbeda dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat
dimana perusahaan itu hadir. Salah satunya dalah fenomena bahwa disemua areal
pertambangan pasti turut pula didirikan arena prostitusi guna memfasilitasi kebutuhan
biologis laki-laki pekerja tambang. Kehadiran prostitusi ini jelas membawa
dampak terhadap kehidupan masyarakat, misalnya Hadirnya Unocal menjadi
pendorong munculnya kegiatan protitusi di Rapak Lama yang merupakan momok dalam
kehidupan masyarakat. Pernah terjadi perkelahian antara pekerja seks dengan
seorang istri karena pekerja seks tersebut adalah teman kencan sang suami. Di
waktu yang berbeda pernah juga terjadi perkelahian antara suami istri di tempat
protitusi. Perkelahian tersenbut berlanjut dengan pemukulan terhadap istri.
Menurut seorang pemuda yang sering berkunjung ke lokalisasi, ia pernah
menyaksikan tiga kali perkelahian antara suami istri di lokalisasi tersebut. [14]
c.
Dampak Lingkungan :
Pencemaran lingkungan hidup perempuan oleh
limbah perusahaan pertambangan, membawa dampak terhadap rusaknya kualitas hidup
dan kesehatan perempuan.
Operasional PT KEM pada akhirnya
mengakibatkan terjadinya kerusakan terhadap lingkungan hidup perempuan. Hal ini
terjadi karena pertama Pencemaran udara. debu yang berasal dari
jalanan perusahaan tambang PT KEM menyebar keperkampungan penduduk dan dihirup
oleh masyarakat; akibatnya mengakibatkan tingginya penderita penyakit seperti
sesak nafas, sakit mata dan sakit perut. Selain itu mengakibatkan hilangnya usaha
warung makan dan minum, terganggunya pertumbuhan tanaman dipekarangan
masyarakat akibat tertutup debu tebal.Kedua Bukit-bukit digali dengan
begitu dalam dan mulai berubahnya bentang alam disekitar wilayah penambangan PT
KEM; Ketiga
Sungai-sungai menjadi kotor dan mengakibatkan gatal-gatal bagi mereka yang
mengkonsumsi air sungai; Pencemaran sungai Kelian ditandai dengan hanyutnya
drum-drum yang berisikan sianida sebanyak 1.200 buah pada tahun 1991. Sebagai
dampak dari larutnya sianida dalam perairan sungai Kelian, warga mengalami
gatal-gatal kemudian menjadi bengkak dan luka-luka. Selain itu pada tanggal 2-4
April 1998 terjadi kematian ikan secara masal di Sungai Kelian, penyebabnya
limbah PT KEM yang dibuang lewat pipa yang mengarah ke kolam dipinggir sungai
Kelian dan tembus sampai ke Sungai Gah Macan. Selain itu Sungai Mencikut yang
dijadikan tempat mencuci mobil PT KEM, mengakibatkan air sungai tidak lagi
layak minum.[15]
Kondisi lingkungan yang buruk pada akhirnya
akan mempengaruhi kualitas hidup perempuan. Kondisi buruk bagi perempuan akan
membawa dampak memburuknya kelangsung hidup masyarakat secara keseluruhan.
d.
Dampak Kekerasan terhadap perempuan
Terjadinya kekerasan terhadap perempuan baik
yang berbasis kekuatan negara/militer maupun yang berbasiskan seksualitas
perempuan seperti pelecehan seksual bahkan pada bentuk yang lebih ekstrim yaitu
perkosaan.
Kekerasan seksual terhadap perempuan baik
dalam bentuk pelecehan seksual maupun kekerasan yang ekstrim yaitu perkosaan
terjadi 17 kasus, dari 21 kasus yang dilaporkan. Dari kasus tersebut 16 kasus
pelakunya adalah karyawan PT KEM. Tindak kekerasan itu terjadi antara 1987
hingga 1997.Pada tahun 2002 diadakan negosiasi untuk pemberian ganti rugi
kepada korban rata-rata memperoleh ganti kerugian berkisar sebesar Rp 18 juta
ini yang paling tinggi, Namun 2 orang
tetap menolak ganti rugi tersebut karena dianggap tidak sepadan dengan
penderitaan korban.[16]
Kriminalisasi terhadap masyarakat selalu
terjadi ketika konflik perusahaan dan rakyat muncul, Masyarakat yang
mempertahankan wilayah kelolanya baik laki-laki maupun perempuan dikriminalkan.
Penangkapan tanpa proses hukum terjadi. Penggusuran penambang, pembakaran
rumah-rumah atau pondok-pondok para penambang rakyat. Intimidasi dan teror terus diterima
rakyat. Pemberian ganti rugi terhadap sebagian masyarakat yang tanahnya
tergusur dengan tekanan, baik secara langsung ataupun dengan tekanan. Tindakan
tersebut terjadi disemua lokasi tambang dengan tingkat kekerasan dan bentuk
yang bermacam-macam.
e.
Dampak Terhadap corak menjaga
kesehatan masyarakat
Peran
reproduktif perempuan yang juga sangat penting adalah menjaga kesehatan
keluarga. Kondisi ini terutama sangat penting karena tidak adanya sarana
kesehatan modern di desa. Ilmu-ilmu pengobatan banyak banyak dikuasai perempuan.
Namun dengan perampasan lahan jenis-jenis tanaman untuk obat-obatan banyak
berkurang bahkan hilang/punah. Perempuan kampung Sekerat Sekurau yang merasakan
operasional PT KPC di Kalimantan Timur berdampak berkurangnya jenis tanaman
yang bermanfaat bagi perempuan sebanyak 40% dan sejumlah 29% punah. Kondisi ini
sangat berdampak bagi kesehatan karena pada awalnya masyarakat cukup menjaga
kesehatan dengan obat-obat tradisional, tetapi sekarang harus dengan obat
modern yang jelas membutuhkan uang tunai untuk mendapatkannya. Hal ini yang semakin menurunkan kualitas kesehatan
masyarakat
f.
Dampak Politik bagi perempuan
Depolitisasi perempuan
Perempuan tidak pernah dilibatkan dalam pertemuan yang dibentuk pemerintah.
Negara seolah menganggap cukup berbicara dengan laki-laki tentang urusan tanah.
Pelibatan perempuan yang rendah menyebabkan perempuan tidak cukup mengerti
tentang persoalan-persoalan politik dan sosial, misalnya tentang persoalan
perjuangan tanah perempuan tidak pernah mendapat informasi tentang perkembangan
kasus tanah meskipun mereka terlibat sangat banyak dalam pengelolaan tanah,
namun ketika pengambilan keputusan tentang status tanah perempuan tidak pernah
dilibatkan.[17]
Kontrol terhadap tanah ada pada laki-laki. Bahkan persoalan yang sangat dekat
dengan pengelolaan tanah yaitu kelembagaan kelompok tani, perempuan tidak cukup
mengerti. Setiap pertanyaan tentang kelompok tani hanya laki-laki yang tahu,
hal ini karena setiap pertemuan/penyuluhan pertanian, nelayan ataupun peternak
hanya melibatkan laki-laki.
g.
Beban Kerja Perempuan Bertambah
Setelah tanah dirampas PT. KPC, beban kerja
reproduktif perempuan semakin besar, hal ini dikarenakan laki-laki lebih sering
berada diluar rumah baik sebagai buruh senso kayu maupun sebagai nelayan. Beban
perempuan di rumah tangga semakin besar, segala persoalan sehari-hari harus
ditanggung perempuan sendiri, sementara dari segi ekonomi perempuan telah
kehilangan banyak akses ekonomi akibat penggusuran. Kemandirian perempuan dalam
ekonomi tidak lagi ada. Hal ini mau tidak mau mengakibatkan posisi perempuan
yang semakin tersubordinasi.
Penutup
Kehadiran perusahaan pertambangan pada
prinsipnya mengancam perempuan baik
peran produktif maupun peran reproduktifnya. Kehilangan wilayah kelola
perempuan berarti mematikan peran produktif perempuan. Kehilangan akses dan
kontrol perempuan pada sektor ekonomi. Sedangkan kita menyadari bakwa kekuasaan
manusia akan alat produksi/tanah yang merupakan wilayah kelolanya akan sangat
besar pengaruhnya terhadap akses-akses yang lain seperti akses politik,
informasi dan akses pengambilan keputusan serta hubungan-hubungan sosial yang
lain.
Ancaman terhadap peran reproduktif
perempuan berarti ancaman bagi kelangsungan hidup manusia. Perempuan diyakini
sejak lama sebagai penjaga kelangsungan hidup manusia dan pemelihara keluarga.
Perampasan wilayah kelola dan pencemaran lingkungan serta dampak-dampak yang
lain telah mengancam peran reproduktif perempuan. Jika peran ini terancam maka
kehancuran hidup yang akan terjadi.
Potret suram perempuan korban
Pertambangan di Kalimantan Timur, diperparah lagi dengan masih minimnya
perhatian semua pihak, negara, masyarakat, bahkan NGO terhadap persoalan
perempuan. Suara-suara perempuan tidak bergema. Hal ini bisa terjadi karena
paradigma baik negara maupun modal masih
memakai pendekatan keluarga, dalam setiap upaya pembahasan persoalan
pertambangan. Diasumsikan bahwa kepala keluarga yang “biasanya” laki-laki
mewakili secara demokratis kepentingan semua pihak. Diratifikasinya Konvensi
Internasional diskriminasi terhadap perempuan “the Convention on the Elimination of All forms of diskrimination
Againts Women (CEDAW) ternyata tidak mampu bergema bagi kepentingan
perempuan-perempuan korban pertambangan. Kepedulian negara terhadap persoalan
yang dihadapi perempuan hampir tidak ada. Sehingga bukan suatu hal yang aneh
ketika kebijakan pertambangan dikeluarkan sama sekali tidak memiliki perspektif
keberpihakan terhadap perempuan. Bahkan ketika presiden RI seorang perempuan,
UU Migas No 22 tahun 2001 yang dikeluarkannya pun tidak mencerminkan
keberpihakan terhadap persoalan dan kepentingan perempuan. Kebijakan Otonomi
daerah tidak mampu memberikan terobosan untuk menyelesaiakan
persoalan-persoalan perempuan di daerah., namun justru pemerintah daerah hanya
berkutat soal kepentingan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari tambang semata.
[1] . Ekologi Kalimantan , 2000
[2] . Data BPS Propinsi Kalimantan Timur
tahun 2001
[3] . Data Peta Pertambangan Kalimantan dan data base Jatam Kaltim
[4] .
Data BPS Kaltim
[5] op.cit. Data BPS Kaltim 2001
[6] ibid
[7] . Kaltim Pos, 10 Mei 2003
[8] Laporan Studi Gender, TKPT Kaltim 2002
[9] studi dampak Jalur Hijau PT KPC, TKPT
Kaltim, Februari 2002
[10] Ibid. Laporan
[11] op.cit,
[12] Laporan Studi Tani Baru-Delta Mahakam
TKPT Kaltim, 2003
[13] Laporan Monitoring Kasus KEM, TKPT Kaltim
2003
[14] op.cit
[15] Potret persoalan perempuan dan tambang di
tiga kawasan, Retno, TKPT Kaltim 2002
[16] op.cit
[17] op.cit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar