Rabu, 09 Juni 2010

Peradilan Anak di Kalimantan Timur


Sistem Peradilan Anak Di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
(Indonesian Children Court System in Human Right Perspective)

Abstract
Positive law which arranging about justice of child acumulated in UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak and of UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Indonesia not ratified international instrument of human right yet relate to jurisdiction of child completely. This matter cause child system of judicature going into effect in Indonesia not fully yet protected child rights. Some problem which emerge in child system of judicature in Indonesia among others usage of less protecting naughty child term of children right because generating stigma to child; demarcation of child age able to be punished is inappropriate of United Nations recommendation, rule of familiarity and closed inspection do not guarantee freshment and protecting of children right; there no case definition able to be processed by case and law which need and perpetrator do not need be under arrest; and also penalization to child more orienting to the crime is not cure action to victim and perpetrator. Therefore need special steps which conducted by government as does trying Restorative Justise as one of the effort overcome the problem of child.

Keywords:  anak (child), peradilan anak (court of child), hak asasi manusia (human rights); konvensi hak anak (convention on the rights of the child/crc), keadilan pemulihan (restorative justice)


Haris Retno Susmiyati
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Jl. Ki Hajar Dewantara Kampus Gunung Kelua Telp. (0541) 7095092 Samarinda 75123

Diterbitkan dalam : Jurnal Risalah Hukum Vol.3 Nomor 1 Juni 2007
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan aset bangsa yang sangat penting. Perlakuan yang tidak tepat terhadap anak akan sangat mempengaruhi masa depan anak, sedangkan kualitas anak-anak akan menentukan masa depan suatu bangsa. Oleh karena itu sangatlah disadari bahwa keberadaan anak dalam kehidupan berbangsa menempati posisi yang sangat penting. Dipundak merekalah kelak masa depan negri ini ditentukan. Kondisi disekitar anak jika tidak mendukung perkembangannya secara baik maka dapat dibayangkan negara dan bangsa akan mengalami kerugian yang sangat besar.
Tahun 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak. Konsekuensinya, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk semaksimal mungkin berupaya memenuhi hak-hak anak di Indonesia. Konvensi Hak Anak adalah salah satu instrumen internasional di bidang hak asasi manusia yang secara khusus mengatur segala sesuatu tentang hak anak. Konvensi ini disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 lewat Resolusi 44/25 dan sesuai ketentuan pasal 49 (1), resolusi tersebut mulai berlaku tanggal 2 September 1990.
Anak dalam masa pertumbuhan seringkali dihadapkan pada situasi khusus, salah satunya anak harus berhadapan dengan hukum, karena tindakannya yang telah melanggar ketentuan yang berlaku dalam masyarakat. Anak-anak yang melakukan pelanggaran aturan atau kepatutan dalam masyarakat inilah yang sering dikatakan sebagai anak nakal. Namun yang terjadi akhir-akhir ini kenakalan anak semakin menjurus kepada tindakan pidana. Bahkan cenderung semakin meningkat tindakan pidana yang dilakukan oleh anak-anak dibawah umur.
Kecenderungan perkembangan kasus anak yang terlibat persoalan hukum di Provinsi Kalimantan Timur juga mengalami peningkatan, di beberapa wilayah terjadi kasus-kasus bahkan dilakukan oleh anak di bawah umur. Terungkapnya beberapa kasus dimasyarakat merupakan fenomena gunung es, artinya faktanya kasus anak yang terlibat persoalan hukum lebih banyak jumlahnya daripada yang terungkap di masyarakat.
Berdasarkan data Balai Pembimbing Kemasyarakatan (Bapas) Kelas II Samarinda diketahui telah menangani 1.057 kasus anak yang melakukan tindak pidana. Data tersebut meliputi wilayah 6 (enam) Kabupaten yaitu Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, Berau, Malinau dan Bulungan serta 2 Kota yaitu Samarinda dan Bontang. Angka yang cukup fantastis,. Berdasarkan data tersebut, tindak pidana yang dilakukan anak terbanyak adalah pencurian sebanyak 425 kasus, selanjutnya penganiayaan 121 kasus, pengeroyokan 119 kasus, sajam 71 kasus, pencabulan 52 kasus, psikotropika/narkoba 50 kasus dll, secara lengkap dapat dilihat tabel 1.
Tabel 1 : Data Kasus Anak yang ditangani Bapas Samarinda
No
Data Kasus
Jumlah Kasus
1
Pencurian
425
2
Sajam
71
3
Penganiayaan
121
4
Laka Lanta
47
5
Pengeroyokan
119
6
Menyetrum Ikan
2
7
Pemerasan
31
8
Asusila
43
9
Psikotropika/Narkoba
50
10
Perjudian
6
11
Kehutanan
3
12
Perampokan
3
13
Pencabulan
52
14
Pembakaran
8
15
Penadah
3
16
Perzinahan
4
17
Kejahatan susila
10
18
Kejahatan di muka umum
1
19
Pengrusakan
1
20
Pembunuhan
12
21
Tantib
1
22
Pengancaman
8
23
Perkelahian
29
24
Penipuan
4
25
Penebang Pohon
1
26
Melarikan anak orang
1
27
Penggelapan
1

TOTAL
1. 057
Sumber : Bapas Samarinda dalam Tribun, 15 Maret 2007

Menghadapi kasus anak yang terlibat persoalan hukum, tentu penyelesaian dan perlakuannya harus berbeda dengan prosedur orang dewasa. Dalam prosesnya harus dilakukan secara cermat, agar anak tetap mendapatkan perlindungan secara maksimal. Adanya kesadaran  tersebut mendorong dikeluarkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997). Diberlakukannya ketentuan ini merupakan tonggak penting dalam perkembangan hukum anak di Indonesia.
UU Nomor 3 Tahun 1997 mengandung makna bahwa kasus-kasus anak yang terlibat persoalan hukum harus ada penanganan secara khusus dalam proses persidangannya, yaitu melalui peradilan anak. Prinsip yang harus dipegang bahwa proses hukum terhadap anak harus mengedepankan perlindungan bagi hak anak.
B. Perumusan Masalah
                Hak anak merupakan bagian integral dalam Hak Asasi Manusia. Sehingga menjadi keharusan bagi seluruh negara di dunia untuk memberikan perlindungan terhadap hak anak sebagaimana terhadap Hak Asasi Manusia. Fenomena yang terjadi banyak anak-anak yang terlibat dalam kasus hukum sebagai pelaku tindak pidana, terhadap kondisi tersebut diperlukan perlu perlakuan  khusus. Berdasarkan pemikiran  tersebut, maka dirasa penting untuk mengkaji:
  1. Bagaimana payung hukum peradilan anak yang ada di Indonesia (UU Nomor 3 Tahun 1997) dalam perspektif Hak Asasi Manusia ?
  2. Persoalan-persoalan apa yang muncul dalam sistem peradilan anak ?
  3. Bagaimana upaya mengatasi persoalan yang muncul dalam sistem peradilan anak?

PEMBAHASAN

A.Peradilan Anak dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
                Peradilan Anak sudah seharusnya tetap mengedepankan perlindungan hak-hak anak. Instrumen Internasional yang mengatur tentang Peradilan anak :
1.       Konvensi tentang Hak-hak anak /Convention on the Rights of the Child (CRC),
2.       Peraturan Standar minimum Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Administrasi Peradilan Anak/ United Nation Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile Deliquency (Beijing rules);
3.       Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pencegahan Pelanggaran Hukum Anak / United Nation Guidelines for The Prevention of Juvenile Deliquency (Riyadh Guidelines);
4.       Peraturan Perserikatan bangsa-bangsa bagi perlindungan anak yang dicabut kebebasan mereka United Nation Standar Rules for The Protection  of Juvenile Desprived of Their Liberty (UNRPJ);
5.       Peraturan Standar Minimum bagi Tindakan non-Penahanan United Nation Standard Minimum Rules for Non Custodial Measures / (Tokyo-rules).
Kelima Instrumen Internasional diatas yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia hanya satu yaitu  Konvensi tentang Hak-hak anak /Convention on the Rights of the Child (CRC), Sedangkan keempat intrumen yang lain belum dilakukan ratifikasi. Sehingga ketentuan yang belum diratifikasi  tidak mempunyai sifat mengikat secara hukum, hanya menjadi sebatas seruan moral saja.
Ketentuan hukum positif yang sejalan dengan upaya penegakan hak asasi manusia dalam hal ini hak-hak anak terangkum dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Nomor 23 Tahun 2002) dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997). Berdasarkan pasal 1 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2002, perlindungan anak dalam adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 1 ayat (12) UU Nomor 23 Tahun 2002, hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Anak yang berhadapan dengan hukum menurut ketentuan pasal 1 ayat  (15) dan Pasal 59, menjadi kewajiban pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk memberikan perlindungan khusus.
Menurut pasal 16 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2002, khusus hak anak yang berhadapan dengan hukum, adalah : Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Pada ayat 3 pasal tersebut dinyatakan bahwa penangkapan, penahanan atau tindakan pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17 ayat (1) menyatakan setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a.   Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b.   Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;
c.    Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
Selain itu dalam pasal 17 ayat (2) diatur bahwa setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Pasal 18 kembali menegaskan bahwa setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Ketentuan jaminan hak anak dalam sistem peradilan anak terdapat dalam pasal 37 Konvesi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC), yaitu :
1.   Penyiksaan dan penganiayaan terhadap anak dilarang;
2.   Pidana mati dan pidana badan juga tidak diperbolehkan;
3.   Dilarang mencabut kebebasan anak dengan melawan hukum dan semena-mena;
4.   Anak-anak yang dicabut kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dengan menghormati harkat kemanusiaannya dan dengan cara yang mempertimbangkan kebutuhan khusus pribadi menurut usia mereka;
5.   Tahanan anak dipisahkan dengan tahanan dewasa;
6.   Tahanan anak berhak untuk memelihara hubungan dengan keluarga mereka, diberikan akses ke bantuan hukum dengan segera, dan untuk menentang keabsahan penahanan mereka di depan pengadilan atau otoritas lainnya.
Menurut ketentuan Perlindungan anak yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 (Pasal 16 butir c), penahanan dan pemenjaraan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum harus menjadi upaya yang paling akhir dan kalaupun terpaksa dilakukan harus untuk masa yang singkat.
UU Nomor 3 Tahun 1997 dibuat ketika UU perlindungan anak belum ada. Sehingga beberapa muatan hukum yang terngkum dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 belum sepenuhnya melindungi hak-hak anak, diantaranya tentang batas umur anak yang dapat diproses di pengadilan anak serta batasan kasus yang dapat diproses menurut UU Nomor 3 Tahun 1997.
Kelemahan yang lain dalam sistem peradilan anak adalah belum diratifikasinya konvensi yang berkaitan dengan peradilan anak. Sehingga secara keseluruhan sistem peradilan anak Indonesia belum sepenuhnya mengacu kepada instrumen HAM. Harus dibedakan antara pengadilan anak dan peradilan anak. Peradilan anak adalah sistem peradilan anak yang terintegrasi mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, bantuan hukum dan pelayanan lainnya, hingga pemasyarakatan. Tetapi pengadilan anak  adalah proses yang lebih terfokus pada jalannya sidang anak atau pada tahap pengadilan. Indonesia hanya memiliki aturan mngenai pengadilan anak saja belum menyeluruh. Oleh karena itu perlu dilakukan revisi terhadap UU Nomor 3 Tahun 1997 dalam perspektif  hak asasi manusia.
B. Persoalan dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia
UU Nomor 3 Tahun 1997 mengatur beberapa ketentuan yang membedakannya dengan sidang pidana untuk orang dewasa. Namun jika ditelaah dalam perkembangannya sistem peradilan anak yang diterapkan memunculkan beberapa persoalan diantaranya:
1. Pengertian Anak dan Anak Nakal
Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002, pengertian anak dalam pasal 1 ayat (1) adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ketentuan ini sesuai dengan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC), yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 Tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Pasal 1 Ketentuan Konvensi Hak anak “Anak berarti setiap manusia dibawah usia 18 tahun kecuali, berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, usia dewasa telah dicapai sebelumnya.”
Jika ditelaah dalam hukum kita terdapat pluralisme kriteria tentang anak, namun anak yang dapat diajukan sebagai pelaku tindak pidana adalah yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1997, yaitu orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin.
Jadi berdasarkan ketentuan UU Nomor 3 Tahun 1997, maka anak yang dapat diproses hukum dibatasi dengan umur 8 (delapan) tahun sampai berumur 18 (delapan Belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa walaupun umurnya belum genap 18 tahun. (Darwan Prinst : 2003).
Anak Nakal menurut pasal 1 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 1997 adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan ini maka istilah kejahatan anak tidak dikenal dalam sistem peradilan anak di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak anak.
Pemakaian istilah anak nakal dalam UU Nomor 3 Tahun 1997, ternyata menimbulkan berbagai protes dan ketidak setujuan, karena dianggap tidak sejalan dengan Konvensi Hak Anak dan ketentuan UU Nomor 23 Tahun 2002. Pemakaian istilah anak nakal akan memunculkan stigma terhadap anak yang akan berpengaruh kepada kondisi kejiwaannya. Sehingga istilah yang dipakai sesuai dengan semangat perlindungan hak anak adalah anak yang berkonflik dengan hukum.
2. Pembatasan Umur
Batas usia pemidanaan anak menurut ketentuan Pasal 4 UU Nomor 3 Tahun 1997 adalah:
(1)     Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin.
(2)     Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan, setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut tetapi belum mencapai umur 21 tahun, tetap diajukan ke sidang anak.
Apabila pelaku kejahatan adalah anak dibawah batas usia minimum yang ditentukan maka anak tidak dapat diajukan di pengadilan anak melainkan menurut ketentuan Pasal 5 UU Nomor 3 Tahun 1997 adalah :
(1)     Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik.
(2)     Apabila menurut hasil pemeriksaan penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya;
(3)     Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan.
Persidangan terhadap Muhammad Azwar alias Raju usia 8 (delapan) tahun, yang sudah diputus Pengadilan Negeri Stabat Sumatera Utara, mengingatkan bahwa pengaturan Pasal 4 UU Nomor 3 tahun 1997 soal batas usia anak yang dapat dipidana kurang tepat.
Batas usia anak yang dapat dipidana menurut pasal 4 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1997 adalah minimum 8 tahun sedangkan sesuai Rekomendasi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) adalah minimum 12 tahun.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2002, maka anak berusia 16 (enam belas) tahun yang melakukan tindak pidana dan pernah kawin akan kehilangan haknya sebagai anak.
3.Proses Hukum Harus Ditangani Pejabat Khusus ( Pasal 1 ayat 5, 6 dan 7)
                Menurut ketentuan UU No 3 tahun 1997 yang dimaksud dengan pejabat khusus adalah:
a.       Ditingkat penyidikan oleh penyidik anak;
b.       Ditingkat penuntutan dan penuntut umum anak;
c.        Dipengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak dan kasasi anak.
                Ketersediaan pejabat khusus diseluruh wilayah Indonesia masih patut dipertanyakan. Perintah UU sudah sangat jelas namun sumberdaya aparat penegak hukum seringkali sangat kurang.
4. Acara Pemeriksaan Tertutup (Pasal 8 ayat 1)
                Acara pemeriksaan di sidang pengadilan anak dilakukan secara tertutup. Ini demi kepentingan si anak sendiri. Akan tetapi putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Dalam kasus Raju pemeriksaan dilakukan secara terbuka hal ini merupakan tekanan psikologis yang berat bagi anak seusia Raju.
5. Suasana Pemeriksaan Kekeluargaan (Pasal 42 ayat 1)
                Pemeriksaan perkara di pengadilan anak dilakukan dalam suasana kekeluargaan, oleh karena itu hakim, penuntut umum dan pembela hukum tidak mengenakan toga. Meskipun petugas tidak memakai seragam tetap saja suasana sidang layaknya orang dewasa akan merupakan tekanan bagi anak, oleh karena itu seharusnya yang dijadikan ukuran adalah suasana yang nyaman bagi perkembangan kejiwaan anak.
6. Tidak Ada Batasan Kasus yang Dapat Diproses Hukum dan Dilakukan Penahanan
   Masa penahanan terhadap anak menurut ketentuan UU No 3 Tahun 1997 Pasal 44 sampai dengan 49 lebih singkat dibanding penahanan menurut KUHAP.
Tabel 2 : Perbandingan Penahanan Bagi Anak dan Orang Dewasa
Instansi
Tingkatan Proses
Penahanan
Orang Dewasa (KUHAP)
Penahanan anak
(UU No 3 tahun 1997)
Kepolisian
Penyidikan
60 hari
30 hari
Kejaksaan
Penuntutan
50 hari
25 hari
Pengadilan Negeri
Persidangan
90 hari
30 hari
Pengadilan Tinggi
Banding
90 hari
30 hari
Mahkamah Agung
Kasasi
110 hari
30 hari
Total

400 hari
145 hari

                Penahanan terhadap anak berdasarkan pasal 44 (6) dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara atau di tempat tertentu.
                Penerapan penahanan anak harus berorientasi perlindungan terhadap hak-hak anak, lagi-lagi kasus Raju hanya gara-gara berkelahi dengan teman sebaya Raju ditahan dan dicampur dengan tahanan dewasa. Kasus ini mencerminkan tidak jelasnya batasan kasus-kasus yang dapat diproses melalui pengadilan anak dan tidak. Selain itu tidak ada batasan kasus yang perlu pelaku dalam hal ini anak ditahan dan tidak.
                Meskipun penahanan terhadap anak lebih ringan dibandingkan orang dewasa, harus ada ketentuan tentang batasan kasus yang perlu ditahan dan yang tidak. Kasus di Majalengka mengajarkan kepada kita, seorang anak usia 14 tahun yang ditahan di Polsek dengan tuduhan mencuri rokok, tewas gantung diri pada hari pertama ia masuk sel tahanan. (Pikiran Rakyat, 26/1/2003)
7. Hukuman Bagi Anak Lebih Berorientasi Pemidanaan Bukan Pemulihan
                Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal, menurut pasal 22 – 32  lebih ringan dari ketentuan yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal untuk anak nakal adalah 10 (sepuluh) tahun.
                Penangkapan, penahanan dan pemenjaraan anak seharusnya menjadi pilihan terakhir dari aparat penegak hukum terkait, sebagaimana diamanatkan UU Pengadilan anak  Pasal 22, 23 dan 24. Vonis hakim seharusnya lebih mengedepankan menjatuhkan tindakan seperti yang termuat dalam pasal 25 dibandingkan pemidanaan yang dimuat dalam pasal 23.
                Kasus di Bandung (Pikiran Rakyat 6/11/2001) seorang anak yang lumpuh karena polio (15 tahun), anak tersebut tidak dapat berjalan dan hanya dapat bergerak dengan cara menggeser pantat dengan kedua tangan. Bocah tersebut bekerja berjualan boneka dan topi di tepi jalan, sekitar maret 2001 jualannya ditambah dengan ganja oleh ayahnya, kata ayahnya hasil dari jualan ganja akan dipakai untuk biaya operasi bagi anak tersebut. Ketika tertangkap oleh Pengadilan Negeri Bandung divonis 2 tahun penjara, karena terbukti menguasai narkotika golongan I. Sungguh putusan yang aneh.
                Menurut Komisi Perlindungan Anak, tindakan hukuman terhadap anak seharusnya tidak hanya melihat aspek keadilan, namun keputusan peradilan lebih mengedepankan perlindungan terhadap anak.


C. Restorative Justice Sebagai Alternatif Penanganan Anak yang Berkonflik Dengan Hukum
                Proses peradilan terhadap anak tidak pernah berdampak baik pada anak karena akan menimbulkan trauma, stigmatisasi dan resiko mengalami kekerasan dan eksploitasi. Oleh karena itu bagi anak diversi atau pengalihan dari sistem peradilan formal kepada mekanisme penanganan berbasis keluarga dan masyarkat adalah langkah yang terbaik.
                UNICEF sebuah lembaga dibawah PBB sedang mengembangkan konsep Restorative Justice (Keadilan Pemulihan) sebagai alternatif penanganan anak yang berkonflik dengan hukum. Konsep ini telah muncul sejak 20 tahun lalu. Kelompok Kerja Peradilan anak PBB mendefinisikan Restoratif  justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu untuk duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat dimasa yang akan datang. Proses restorative justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi, yaitu pengalihan dari proses pengadilan pidana keluar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah pemulihan. Mediator dalam musyawarah dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya dan bila kejadiannya disekolah dapat dilakukan oleh Kepala Sekolah atau Guru. (Working Group Restorative Justice LPA Jabar-UNICEF : http://groups. yahoo.com/group/majelismuda ).
                Syarat utama dari penyelesaian melalui musyawarah pemulihan adalah adanya pengakuan dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku dan keluarga korban, untuk menyelesaikan perkara melalui musyawarah pemulihan. Musyawarah tidak boleh didasarkan atas paksaan. Apabila pihak-pihak tidak menghendaki penyelesaian melalui musyawarah pemulihan, maka proses peradilan harus berjalan. (Working Group Restorative Justice LPA Jabar-UNICEF : http://groups. yahoo.com/group/majelismuda ).
                Penerapan restorative justice diharapkan akan berdampak (Melani: http://groups. yahoo.com/group/majelismuda/):
1.   Berkurangnya jumlah anak-anak yang ditangkap, ditahan, dan divonis penjara;
2.   Menghapuskan stigma /cap dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak.
3.   Pelaku pidana anak dapat menyadari kesalahannya sehingga tidak mengulangi perbuatannya;
4.   Mengurangi beban kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan dan lapas;
5.   Menghemat keuangan negara;
6.   Tidak menimbulkan dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh korban;
7.   Korban dapat cepat mendapat ganti kerugian;
8.   Memberdayakan orang tua dan masyarkat dalam mengatasi kenakalan anak;
9.   Pengintegrasian kembali anak kedalam masyarakat.
                Restorative Justice/keadilan pemulihan melalui musyawarah. Pemulihan merupakan alternatif dalam mengatasi masalah anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam konsep hukum Indonesia upaya musyawarah bukan hal baru, Hukum Adat Indonesia tidak membedakan perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan.

PENUTUP
A. Kesimpulan
1.   Indonesia belum meratifikasi instrumen internasional hak asasi manusia berkaitan dengan peradilan anak secara lengkap. Hal ini menyebabkan sistem peradilan anak yang berlaku di Indoensia belum sepenuhnya melindungi hak-hak anak.
2.   Beberapa persoalan yang muncul dalam sistem peradilan anak di Indoensia diantaranya pemakaian istilah anak nakal yang kurang melindungi hak anak karena menimbulkan stigma bagi anak; pembatasan umur anak yang dapat dipidana tidak sesuai rekomendasi PBB, Ketentuan pemeriksaan secara kekeluargaan dan tertutup tidak menjamin kenyamanan dan terlindunginya hak anak; tidak ada batasan kasus yang dapat diproses hukum dan kasus yang perlu dan tidak perlu pelaku ditahan; serta hukuman bagi anak lebih berorientasi pemidanaan bukan tindakan pemulihan terhadap pelaku dan korban.
3.   Restorative Justice / Keadilan Pemulihan di Indonesia diartikan sebagai musyawarah pemulihan merupakan salah satu alternatif  dalam mengatasi persoalan anak yang berkonflik dengan hukum.
B. Saran
1.   Pemerintah Indonesia harus segera meratifikasi instrumen HAM berkaitan dengan peradilan anak;
2.   Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak agar sejalan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia;
3.   Perlu uji coba pelaksanaan Restorative justice sebagai salah satu alternatif mengatasi masalah anak yang berkonflik dengan hukum.

Daftar Pustaka
A. Literatur
Abdussalam, 2007, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Bandung.
C. de Rover, 2000, To Serve To Protect-Acuan Universal Penegakan HAM, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Candra Gautama, 2000, Konvensi Hak Anak-Panduan Bagi Jurnalis, LSPP, Jakarta.
Darwan Prinst, 2003, Hukum Anak Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Ifdhal Kasim, 2001, Hal Sipil dan Politik, ELSAM, Jakarta.
Moch. Faisal Salam, 2005, Hukum Acara Peradilan Anak Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Hak-hak Anak
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Konvensi tentang Hak-hak anak /Convention on the Rights of the Child (CRC),
Peraturan Standar minimum Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Administrasi Peradilan Anak/ United Nation Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile Deliquency (Beijing rules);
Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pencegahan Pelanggaran hukum Anak / United Nation Guidelines for The Prevention of Juvenile Deliquency (Riyadh Guidelines);
Peraturan Perserikatan bangsa-bangsa bagi perlindungan anak yang dicabut kebebasan mereka United Nation Standar Rules for The Protection  of Juvenile Desprived of Their Liberty (UNRPJ);
Peraturan Standar Minimum bagi Tindakan non-Penahanan United Nation Standard Minimum Rules for Non Custodial Measures / (Tokyo-rules).
C. Lain-lain :
http://groups. yahoo.com/group/majelismuda
Pikiran Rakyat 6/11/2001
Pikiran Rakyat, 26/1/2003
Tribun, 15 Maret 2007


1 komentar:

  1. Bu... bila pemidanaan terhadap ABH tetap diberlakukan hingga detik ini di Indonesia , di KalTim Khususnya , sementara SKB. 6 Kementerian cukup jelas mengatur tentang pengupayaan terhadap ABH , pemidanaan adalah upaya paling akhir , apakah pemidanaan terterhadap ABH itu bisa diartikan sebagai pemberlakuan
    " kriminalisasi terhadap Anak "

    BalasHapus