PERIKATAN DALAM PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN RUMPON
DI WILAYAH PESISIR MUARA BADAK
DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA INDONESIA
ABSTRAKSI
Indonesia
memiliki sumber daya dan keanekaragaman hayati sangat penting dan strategis
artinya bagi kelangsungan kehidupannya sebagai sebuah negara. Hal ini bukan
semata-mata karena posisinya sebagai salah satu negara yang berpotensi tinggi
dalam keanekaragaman hayati, tetapi justru karena keterkaitannya yang erat
dengan budaya lokal yang dimiliki oleh negara ini.
Diketahui bahwa masyarakat di Indonesia secara
tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati alami, salah
satunya adalah tetap terjaga dan digunakannya budaya penangkapan ikan dengan
menggunakan cara Rumpon.
Rumpon adalah alat bantu penangkapan ikan yang terdiri
dari pelampung (bambu atau gabus), alat pemikat (daun kelapa yang dipasang di bawah
pelampung), dan pemberat (batu) Rumpon mirip dengan sebuah rakit yang
aturan pembuatan dan pemanfaatannya berada di tengah laut.
Rumpon sendiri sebetulnya merupakan kebudayaan bahari
asli masyarakat Mandar di Sulawesi Barat, dimana budaya penggunaan Rumpon
ternyata di dapati pula di wilayah pesisir Muara Badak Kalimantan Timur. Di
wilayah pesisir tersebut banyak didapati nelayan-nelayan yang menggunakan teknologi
Rumpon, akan tetapi menjadi sebuah ketertarikan tersendiri ketika
ternyata keharmonisan diantara para nelayan tetap terjaga satu dengan yang
lainnya dalam kurun waktu yang lama, sekalipun hampir seluruh penduduk setempat
berprofesi sebagai nelayan, terutama dalam persoalan pemerataan rejeki dari
hasil tangkapan.
Ada aturan-aturan yang secara tradisional tak
tertulis namun tetap tersentuh oleh aspek-aspek Hukum Perdata Indonesia yang di
pegang dan dijalankan oleh masyarakat wilayah pesisir, seperti halnya persoalan
penempatan Rumpon, hak kepemilikan Rumpon, dan jual beli hasil
tangkapan.
Aturan-aturan tradisionil tak tertulis yang dijalankan
oleh masyarakat wilayah pesisir Muara Badak Kalimantan Timur tersebut
sesungguhnya adalah merupakan kesepakatan-kesepakatan yang tanpa disadari oleh
pelakunya merupakan penerapan dari konsep-konsep perikatan yang ada dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Indonesia.
A. PENDAHULUAN
Kawasan pesisir diyakini banyak pihak mempunyai
sumber daya alam yang melimpah. Namun potensi sumber daya alam yang ada sering
kali belum dikelola secara baik. Sehingga justru masih banyak masyarakat
khususnya nelayan yang berada di kawasan pesisir harus hidup dalam kemiskinan. Oleh
karena itu diperlukan berbagai upaya dan terobosan untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat. Upaya yang dimaksud perlu keterlibatan berbagai pihak baik
pemerintah maupun masyarakat sendiri.
Banyak cara yang dapat dilakukan oleh nelayan
dalam hal meningkatkan pendapatan penghasilan, dengan semakin meningkatnya
perolehan hasil tangkapan di laut maka makin meningkat pula pendapatan
penghasilan mereka, salah satunya adalah dengan digunakannya metode penggunaan
alat tangkap berupa Rumpon.
Rumpon adalah alat bantu penangkapan ikan yang mirip
dengan rakit terdiri dari pelampungan (bambu atau gabus), alat pemikat (daun
kelapa yang dipasang dibawah pelampung), dan pemberat (batu atau jangkar)
biasanya Rumpon dibuat untuk memudahkan nelayan dalam proses penangkapan
ikan, karena dengan adanya Rumpon mengakibatkan ikan banyak berkumpul di
sekitar alat tersebut.
Rumpon sendiri
sebetulnya merupakan kebudayaan bahari asli masyarakat Mandar di Sulawesi Barat, dimana budaya penggunaan Rumpon ternyata
didapati pula di wilayah pesisir Muara Badak tepatnya di Desa Muara Ulu Kecamatan
Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur, meskipun
penggunaan alat bantu penangkapan ikan berupa Rumpon tidak semarak di daerah
asalnya Mandar dan tetangganya Bontang, pembuatan
Rumpon didapati pula di daerah ini.
Pembuatan Rumpon yang biasa terjadi di kalangan
masyarakat nelayan dilakukan dengan cara bersama-sama antara pemilik dan
pekerjanya diawali dari proses pembuatan sampai dengan pemasangan Rumpon
ditengah laut, begitu juga dengan proses penggunaannya yang juga dilakukan
bersama-sama antara pemilik dan pekerjanya, atau antara pemilik Rumpon
dan penyewa Rumpon dan proses tersebut masih dilaksanakan dengan cara
tradisional. Hal ini menarik untuk dapat dilihat dari sudut pandang Hukum
Perdata Indonesia. Ketentuan Hukum Perdata Indonesia Indonesia diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia (KUHPdt). Aspek-aspek pengaturan
Hukum Perdata Indonesia Indonesia dalam pembuatan dan pemasangan Rumpon
di Pesisir Muara Badak inilah yang dikaji dalam tulisan ini.
B. PEMBAHASAN
1. Rumpon di Pesisir Desa Muara Ulu
Kecamatan Muara Badak
Desa Muara Ulu merupakan
salah satu wilayah di pesisir Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara
Provinsi Kalimantan Timur. Letak Desa Muara Ulu yang secara geografis terletak
di pesisir pantai mempengaruhi sebagian besar masyarakatnya sehingga lebih
banyak yang bermata pencarian sebagai nelayan.
Jarak tempuh Desa Muara Ulu
melalui transportasi darat dari ibukota provinsi Kalimantan Timur yaitu
Samarinda adalah 1 jam 30 menit. Sedangkan untuk mencapai kota Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kota Tenggarong melalui jalur darat relatif lebih jauh, mencapai 2
jam 30 menit.
Masyarakat nelayan di Desa
Muara Ulu menggunakan berbagai alat tangkap untuk menunjang aktivitasnya dalam
menangkap ikan di laut. Berbagai alat tangkap yang banyak digunakan oleh
masyarakat nelayan diantaranya Rumpon, Bagang Apung, Bagang Tetap
dan lain-lain.
Khusus alat tangkap Rumpon,
dalam sejarahnya memang banyak dikembangkan oleh nelayan dari Suku Mandar,
namun di wilayah Desa Muara Ulu tidak lagi hanya suku tersebut. Suku-suku lain
dari wilayah Sulawesi Selatan dan Makasar ikut menggunakan alat tangkap ini.
Rumpon ini merupakan alat tangkap yang dibuat
dari bambu yang disusun dari sekitar 100 batang bambu dengan lebar susunan
antara 2 – 3 meter. Sedangkan panjang Rumpon mengikuti panjang bambunya
rata-rata sepanjang 15 meter. Selanjutnya dilengkapi dengan alat pemikat (daun
kelapa yang dipasang dibawah pelampung), dan pemberat (batu). Rumpon
mirip dengan sebuah rakit yang aturan pembuatan dan pemanfaatannya berada di tengah
laut. Pembuatan merakit batang bambu untuk menjadi Rumpon tidak membutuhkan
waktu yang lama, biasanya cukup dalam waktu 1 minggu. Biaya yang dibutuhkan
untuk pembuatan Rumpon berkisar 5 juta rupiah.
Rumpon yang telah selesai dirakit selanjutnya ditarik
ke lokasi pemasangan Rumpon dengan menggunakan kapal penarik. Pemasangan
Rumpon ini harus didasari perhitungan lokasi atau koordinat yang
diperkirakan akan banyak terdapat ikan dan tidak merupakan jalur lalu lintas
laut yang padat, agar Rumpon yang telah dipasang tidak mengalami resiko
tertabrak kapal yang lewat. Hal inilah yang menjadi salah satu kendala dalam
pengembangan alat tangkap Rumpon, karena tidak banyak orang yang
memiliki keahlian menentukan lokasi Pembuatan Rumpon dengan baik.
Prosedur Pembuatan Rumpon biasanya dengan memberitahukan kepada Kerukunan
Nelayan, Dinas Perikanan, dan Kepala Desa. Meskipun prosedur pemberitahuan
tersebut tidak diatur secara tertulis. Rumpon yang telah dirakit ditarik
dengan kapal ke tengah laut. Tempat Pembuatan Rumpon jauh di laut dalam,
dari wilayah pantai dibutuhkan masa tempuh 2- 3 jam perjalanan, dengan
menghabiskan 1 drum solar.
Rumpon ketika pertama dipasang harus menunggu 2
bulan setelahnya untuk dapat dimanfaatkan. Metode penangkapan ikan nelayan
menggunakan alat pancing, hasil yang didapat biasanya dalam 2 malam mencapai
Rp. 10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah), dengan harga pasaran ikan di Muara Ulu
sebanyak Rp. 17.000,- sampai dengan Rp. 20.000,-. Pemakaian Rumpon
biasanya terdiri dari 1 orang juragan/pemilik dan 5 orang anak buah.
Pemakaian Rumpon
selain dipakai sendiri oleh pemilik, biasanya juga disewakan kepada orang lain.
Perjanjian sewa-menyewa umumnya dibuat hanya dengan kesepakatan lisan tanpa disertai bukti
tertulis, hanya berbekal kepercayaan. Harga sewa yang berlaku dalam penggunaan Rumpon
dengan perbandingan 60% – 40% ( 60% bagian untuk penyewa dan 40% bagian untuk
pemilik Rumpon). Pengelolaan Rumpon berdasarkan kebiasaan, siapapun
boleh memanfaatkan Rumpon tersebut asalkan hanya untuk diambil ikannya
saja dan dalam jumlah tidak berlebihan serta tidak diambil maupun dirusak Rumpon-nya.
Berdasarkan
uraian di atas aktivitas berhubungan dengan alat tangkap Rumpon ini
dapat dipisahkan menjadi dua tahap kegiatan :
1. Tahap pembuatan
Tahap pembuatan ini meliputi perakitan
bambu sehingga menjadi Rumpon hingga pada tahap pemasangan Rumpon
pada titik koordinat yang ditentukan dan biasanya berada di laut lepas.
2. Tahap penggunaan
Tahap penggunaan merupakan tahapan dimana Rumpon
telah minimal 2 bulan sejak selesai dipasang pada lokasi/koordinat yang
diperkirakan sesuai untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal. Penggunaan
Rumpon ini biasanya dipakai dengan mekanisme :
a.
Digunakan sendiri oleh pemilik dengan melibatkan 5 orang pekerja dengan sistem
bagi hasil yang ditentukan dalam kesepakatan lisan antara pemilik dengan para
pekerja yang umumnya masih mempunyai hubungan kekerabatan.
b.
Disewakan kepada pihak lain.
Kesepakatan sewa-menyewa ini dilakukan
secara lisan atas dasar kepercayaan dengan pembagian hasil yang disepakati
sebelumnya. Umumnya pembagiannya 60-40 (60% untuk penyewa dan 40% untuk
pemilik).
Pembuatan Rumpon di wilayah
pesisir Desa Muara Ulu masih dilakukan dengan
cara tradisional yaitu dengan cara mengerjakannya secara bersama,
biasanya diawali oleh seseorang pemilik modal/juragan yang berkeinginan untuk
memiliki sebuah alat penangkap ikan berupa Rumpon, dan kemudian
dikerjakan oleh beberapa pekerjanya, para pekerja tersebut yang akan
mengerjakan dari awal sampai dengan terpasangnya Rumpon dilautan lepas.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan masyarakat wilayah pesisir di Desa Muara Ulu, aktivitas
berhubungan dengan alat tangkap Rumpon ini dapat dipisahkan menjadi dua
tahap kegiatan :
1. Tahap pembuatan
Pembuatan Rumpon di Pesisir Desa Muara Ulu
masih dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan cara mengerjakannya secara
bersama, biasanya diawali oleh seseorang pemilik modal/juragan yang
berkeinginan untuk memiliki sebuah alat penangkap ikan berupa Rumpon dan
kemudian dikerjakan (perakitan bambu) oleh beberapa pekerjanya, para pekerja
tersebut yang akan mengerjakan dari awal sampai dengan terpasangnya Rumpon
di lautan lepas.
2. Tahap penggunaan
Tahap penggunaan merupakan tahapan dimana Rumpon
telah minimal 2 bulan sejak selesai dipasang pada lokasi/koordinat yang diperkirakan
sesuai untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal. Penggunaan Rumpon
ini biasanya dipakai dengan mekanisme :
a. Digunakan
sendiri oleh pemilik Rumpon dengan melibatkan 5 orang pekerja dengan
sistem bagi hasil yang ditentukan dalam kesepakatan lisan antara pemilik dengan
para pekerja yang umumnya masih mempunyai hubungan kekerabatan. Biasanya
diantara pemilik modal/ dan pekerjanya dalam memperoleh tangkapan hasil laut, akan
membagi hasil tangkapan menjadi 60 % bagian untuk pemilik modal /juragan dan
40% bagian untuk para pekerjanya.
b.
Disewakan kepada pihak lain.
Kesepakatan sewa-menyewa ini dilakukan
secara lisan atas dasar kepercayaan dengan pembagian hasil yang disepakati
sebelumnya. Umumnya pembagiannya 60-40 (60% untuk penyewa dan 40% untuk
pemilik).
Namun dalam prakteknya,
pengelolaan Rumpon ini juga menghadapi berbagai persoalan. Persoalan
yang biasanya terjadi adalah :
- Pencurian Rumpon
Rumpon yang dikelola karena dipasang jauh di laut lepas
dan tidak dijaga atau dibiarkan begitu saja mengakibatkan Rumpon rentan
mengalami pencurian. Pencurian ini umumnya dilakukan oleh masyarakat di luar
wilayah Pesisir Muara Badak, sehingga sulit untuk dilakukan pelacakan.
- Biaya transportasi yang tinggi.
Lokasi pemasangan Rumpon di laut lepas, sehingga
membutuhkan biaya transportasi yang tidak sedikit, minimal 1 drum solar.
Seperti diketahui bersama harga BBM (termasuk solar) meningkat akhir-akhir ini,
hal ini menjadi persoalan bagi nelayan.
- Pencurian ikan dari lokasi Rumpon, orang lain yang bukan pemilik Rumpon mengambil ikan sampai ratusan kilo sehingga pemilik Rumpon tidak mendapatkan hasil;
- Rumpon terkadang dirusak oleh orang yang tidak bertanggungjawab.
- Kondisi alam misalnya adanya ombak besar yang dapat mengakibatkan rusak atau hilangnya Rumpon.
2. Pembuatan dan
Penggunaan Rumpon Ditinjau dari Aspek Hukum Perdata Indonesia
a. Para Pihak dalam Perikatan Pembuatan
dan Penggunaan Rumpon
Hubungan hukum yang terjadi
dalam perikatan harus terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak yang berhak
atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau si berpiutang dan pihak
yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif adalah debitur atau si berhutang.
Mereka ini yang disebut subyek perikatan.[1]
Pada setiap perikatan sekurang-kurangnya harus satu orang kreditur dan
sekurang-kurangnya satu orang debitur.[2]
Para pihak dalam perikatan
pembuatan dan penggunaan Rumpon adalah :
1. Tahap pembuatan
Tahap pembuatan ini meliputi perakitan
bambu sehingga menjadi Rumpon hingga pada tahap pemasangan Rumpon
pada titik koordinat yang ditentukan dan biasanya berada di laut lepas. Pada
tahap ini para pihak yang terikat dalam perikatan adalah antara pemilik/juragan
sebagai pihak yang mempunyai modal untuk pembuatan dengan pekerja pembuat Rumpon.
2. Tahap penggunaan
Dalam tahap
penggunaan para pihak dalam perikatan adalah :
a. Jika Rumpon digunakan sendiri oleh
pemilik dengan melibatkan 5 orang pekerja dengan sistem bagi hasil. Para pihak
dalam perikatan adalah pemilik/juragan
dengan pekerja.
b. Jika disewakan, maka para pihaknya adalah
pemilik dengan penyewa.
b.Obyek Perikatan dalam Pembuatan dan
Penggunaan Rumpon
Isi
perikatan bisa juga disebut sebagai obyek perikatan yang merupakan hak debitur
dan kewajiban debitur biasanya dinamakan prestasi. Prestasi menurut pasal 1234
KUHPdt dapat berupa memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
Apa yang dimaksud dengan sesuatu disini bergantung kepada maksud atau tujuan
daripada para pihak yang mengadakan hubungan hukum.[3]
Istilah hukum yang sering
digunakan dalam menyebut dipenuhinya hak dan kewajiban oleh para debitur dan
kreditur adalah “Prestasi” jadi pemilik modal/Rumpon, pekerja, dan
penyewa akan dikatakan telah memenuhi prestasi jika mereka telah menjalankan
hak dan kewajibannya.
Perikatan adalah hukum yang
terletak didalam lapangan kekayaan, yang terjadi antara dua orang atau lebih,
dimana pihak yang satu berhak atas suatu prestasi, sedangkan pihak yang lainnya
wajib memenuhi prestasi.[4]
1) Perikatan untuk memberikan sesuatu
Berdasarkan pasal 1235 KUHPdt, ditentukan dalam
tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu termaktub kewajiban siberutang
untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai
seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan. Kewajiban yang
terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap persetujuan-persetujuan
tertentu, yang akibat-akibatnya mengenai hal ini akan ditunjuk dalam bab-bab
yang bersangkutan.
2) Perikatan untuk berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
Berdasarkan pasal 1239 KUHPdt, menyatakan
tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, apabila
siberutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaian dalam
kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.
Praktek
perikatan dalam pembuatan dan penggunaan Rumpon berdasarkan isi
perikatannya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Perjanjian pembuatan dan penggunaan Rumpon
sebagai perikatan untuk melakukan/berbuat sesuatu.
Dalam hal ini yang menjadi ukurannya adalah wujud
prestasinya, bahwa dalam pembuatan pihak
pekerja mempunyai kewajiban untuk membuat dan memasang Rumpon yang sudah
diperjanjikan, sementara pemilik berkewajiban memenuhi prestasinya berupa
pembayaran sejumlah uang.
2) Perjanjian penggunaan Rumpon sebagai
perikatan untuk memberikan sesuatu..
Dalam perjanjian penggunaan Rumpon
diklasifikasikan sebagai perikatan untuk “memberikan sesuatu” karena pihak
pengguna/penyewa Rumpon mempunyai kewajiban untuk memberikan sebagian
hasil sesuai prosentase yang disepakati kepada pemilik Rumpon. Sedangkan
pemilik Rumpon mempunyai kewajiban untuk mengijinkan pengguna/penyewa Rumpon
untuk menggunakan Rumpon-nya.
3) Perjanjian penggunaan Rumpon juga
sebagai perikatan untuk tidak melakukan sesuatu.
Perjanjian antara pengguna/penyewa dengan pemilik Rumpon
untuk penggunaan Rumpon dapat diklasifikasikan sebagai perikatan untuk
tidak melakukan sesuatu, karena dalam isi perikatan memuat larangan bagi
pengguna/penyewa untuk merusak atau menghilangkan Rumpon yang
digunakannya. Hak pengguna/penyewa hanya untuk memungut hasil Rumpon
saja.
c. Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Pembuatan
dan Penggunaan Rumpon
Berdasarkan ketentuan Pasal 1338
KUHPdt dianut asas kebebasan berkontrak, dalam ketentuan ini orang pada asasnya
dapat membuat perjanjian dengan isi yang bagaimanapun juga, asal tidak
bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum. Selain itu digunakan
pula asas konsensual dimana perjanjian
terjadi disaat tercapainya kata sepakat (konsensus) diantara para pihak.
Dalam perpektif asas
kebebasan berkontrak dan asas konsensual, maka perjanjian dalam pembuatan dan
penggunaan Rumpon adalah sah. Para pihak yang melakukan perjanjian telah
besepakat untuk melakukan perjanjian
dan mempunyai kebebasan untuk membuat
perjanjian dengan isi yang bagaimanapun sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang dan ketertiban umum.
d. Sumber Perikatan Dalam Pembuatan dan
Penggunaan Rumpon
Berdasarkan ketentuan Pasal
1233 KUHPdt, menentukan bahwa perikatan dapat timbul baik karena perjanjian
maupun karena undang-undang. Dengan kata lain, sumber perikatan itu ialah
perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang timbul karena perjanjian, kedua
pihak dengan sengaja bersepakat saling mengikatkan diri, dalam perikatan mana
kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.
Perikatan dalam pembuatan
dan penggunaan Rumpon merupakan perikatan yang muncul dari adanya
perjanjian, yaitu perjanjian antara pemilik modal/juragan dan para pekerjanya pada
proses pembuatan Rumpon sampai dengan pemasangan, serta perjanjian dalam
penggunaan antara pemilik dengan para pekerja maupuan pemilik dengan penyewa.
Dipandang dari Hukum Perdata
Indonesia, keterikatan antara pemilik dan pekerja pembuat Rumpon,
pemilik dan pekerja penggunaan Rumpon serta pemilik dan penyewa Rumpon
merupakan sebuah hubungan hukum yang artinya dari hubungan tersebut menimbulkan
hak dan kewajiban diantara para pihak
(pemilik modal/juragan dan pekerja/pemasang), maupun pemilik Rumpon
dengan penyewa.
e. Kesepakatan Pembuatan
dan Penggunaan Rumpon sebagai Sebuah Perikatan
Pembuatan dan Pengunaan Rumpon
diawali dengan kesepakatan antara pemilik modal dengan para pekerja pembuat dan
pihak yang ahli dalam pemasangan Rumpon. Ketika telah terpasang, dalam
penggunaannya didasari kesepakatan antara pekerja dengan pemilik jika dikelola
sendiri dan antara pemilik dengan penyewa jika Rumpon dikelola dengan
sistem sewa kepada pihak lain.
Dilihat dari perspektif Hukum
Perdata Indonesia perbuatan yang dilakukan oleh pemilik modal/juragan dan para
pekerja baik dalam hal pembuatan dan penggunaan Rumpon di wilayah
pesisir Muara Ulu adalah merupakan sebuah perikatan.
Perikatan berdasarkan
terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verbintenis”.
Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain.[5]
Sebuah perbuatan hukum dapat dikatakan sebagai sebuah perikatan jika didalam
perjanjiannya mengandung unsur-unsur perikatan, dalam hal ini unsur-unsur
perikatan dapat terlihat dengan jelas yaitu:
1. Adanya hubungan hukum atau hubungan yang
diatur oleh hukum, yaitu suatu hubungan antara para pihak yang dapat menimbulkan
hak dan kewajiban diantara para pihak.
Hak dan kewajiban disini
melekat pada tiga pekerjaan yang berbeda, yaitu
a. Hubungan hukum antara pihak
pemilik modal/juragan dan pihak pekerja dalam hal pembuatan Rumpon
sampai dengan pemasangan Rumpon ditengah laut.
b. Hubungan hukum dalam hal
penggunaan Rumpon antara pihak pemilik modal/juragan dan pihak
pekerjanya.
Untuk dua hal diatas terciptanya sebuah
kesepakatan pada masalah pembuatan Rumpon sampai dengan pemasangan Rumpon
di tengah laut, dan pembagian keuntungan yang mengakibatkan terbaginya pendapatan
dari hasil tangkapan yaitu 60% diperuntukkan bagi pihak pemilik modal/juragan
dan 40% diperuntukan bagi pihak pekerja.
c. Hubungan hukum dalam hal
penggunaan Rumpon antara pihak pemilik Rumpon dan pihak penyewa.
Untuk hal ini kesepakatan yang dibuat adalah pihak
penyewa dapat menggunakan Rumpon sekaligus memperoleh hasil tangkapan
dari Rumpon tersebut sampai dengan waktu yang disepakati dengan
kompensasi pembagian hasil tangkapan 60 % diperuntukkan bagi penyewa dan 40%
untuk pemilik.
2. Obyek yang ada dalam perikatan adalah
merupakan sesuatu yang bernilai ekonomis.
Untuk menentukan apakah suatu hubungan hukum
merupakan perikatan dalam pengertian hukum atau tidak para ahli hukum
menggunakan ukuran dapat dinilai dengan uang. Bilamana suatu hubungan hukum,
hak dan kewajiban yang ditimbulkan dapat dinilai dengan uang maka hubungan
hukum itu adalah perikatan.[6]
Dalam persoalan ini hasil tangkapan yang diperoleh dengan menggunakan Rumpon
sudah dapat dipastikan dapat dinilai dengan uang, seperti yang diterangkan oleh
para nelayan Rumpon di desa muara ulu bahwa sekali tangkapan dapat
diperoleh penghasilan kurang lebih Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
3. Hubungan antara debitur dan keditur
Hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban
dalam perikatan tersebut adalah antara para dua pihak. Pihak yang berhak atas
prestasi (pihak yang aktif) adalah Kreditur atau orang yang berpiutang,
sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi
prestasi adalah (pihak yang pasif) adalah Debitur atau orang yang
berhutang[7]
Dalam persoalan ini pihak Kreditur adalah pemilik modal/Rumpon dan pihak
Debitur adalah Para pekerja dan penyewa.
4. Isi
perikatan
Isi perikatan bisa juga disebut sebagai obyek
perikatan yang merupakan hak debitur dan dan kewajiban debitur biasanya
dinamakan prestasi. Prestasi menurut pasal 1234 KUHPdt dapat berupa memberi
sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Apa yang dimaksud dengan
sesuatu disini bergantung kepada maksud atau tujuan daripada para pihak yang mengadakan
hubungan hukum.[8]
f. Kesepakatan Pembuatan
dan Penggunaan Rumpon sebagai Perjanjian Tak Tertulis
Perjanjian atau persetujuan berdasarkan pasal
1313 KUHPdt, adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Pada umumnya sebuah perjanjian
tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat pula dibuat secara lisan dan
andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat pembuktian
apabila terjadi perselisihan.[9]
Dalam pandangan ahli hukum dikatakan
bahwa perjanjian tidak mengharuskan para pihaknya membuat sebuah kontrak
tertulis, sehingga apa yang dilakukan oleh para pihak dalam proses pembuatan
dan penggunaan Rumpon dapat dibenarkan.
g. Wanprestasi
Prestasi adalah sesuatu yang
wajib harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan sedangkan perikatan merupakan isi daripada perikatan.
Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam
perjanjian, dapat dikatakan sebagai wanprestasi.
Wanprestasi seseorang debitur dapat berupa empat
macam yaitu[10] :
1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi
2. Tidak tunai memenuhi prestasi
3. Terlambat memenuhi prestasi
4. Keliru memenuhi prestasi
Pada pembuatan Rumpon
ini diterangkan oleh para nelayan bahwa tidak pernah ada wanprestasi
dikarenakan hubungan kerja diantara para pihak didasarkan pada azas
kekeluargaan dan kepercayaan, sehingga para pihak berusaha untuk memenuhi
prestasinya. Lain halnya dengan penyewaan Rumpon pernah terjadi
wanprestasi berupa pembagian hasil
tangkapan dibagikan tidak sesuai dengan kesepakatan, sehingga berdasarkan asas
kepercayaan pemilik Rumpon tidak lagi menyewakan Rumpon-nya
kepada pihak yang wanprestasi tadi.
C. PENUTUP
Rumpon merupakan salah satu alat tangkap ikan
tradisional yang dikembangkan oleh masyarakat di Wilayah Pesisir Desa Muara Ulu
Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur.
Dalam prakteknya pembuatan dan penggunaan Rumpon di masyarakat pesisir
dilakukan dalam sistem kesepakatan atas dasar kepercayaan dan dilakukan secara
tidak tertulis. Dalam tinjauan Hukum Perdata Indonesia dapat disimpulkan
beberapa hal :
1. Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPdt, dalam
perpektif asas kebebasan berkontrak dan asas konsensual, maka perjanjian dalam
pembuatan dan penggunaan Rumpon adalah sah.
2. Para pihak dalam perikatan pembuatan dan
penggunaan Rumpon, pada tahap pembuatan melibatkan majikan/juragan dan
pekerja, sedangkan pada tahap penggunaan para pihaknya adalah pemilik sekaligus
juragan dengan pekerja dan pemilik dengan penyewa.
3. Obyek perikatan dalam pembuatan dan
penggunaan Rumpon, sebagai Perikatan
untuk melakukan/berbuat sesuatu, serta perjanjian penggunaan Rumpon
sebagai perikatan untuk memberikan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu.
4. Sumber perikatan dalam pembuatan dan
penggunaan Rumpon berdasarkan Pasal 1233 KUHPdt adalah perjanjian yang
dilakukan para pihak.
5. Kesepakatan pembuatan dan penggunaan Rumpon
merupakan sebuah perikatan;
6. Kesepakatan pembuatan dan penggunaan Rumpon
sebagai perjanjian tak tertulis. Dalam pandangan ahli hukum perjanjian memang
tidak diharuskan dibuat dalam bentuk tertulis, bentuk tertulis merupakan alat
pembuktian apabila terjadi perselisihan.
7. Wanprestasi pada pembuatan Rumpon
ini diterangkan oleh para nelayan bahwa tidak pernah ada wanprestasi
dikarenakan hubungan kerja diantara para pihak didasarkan pada azas
kekeluargaan dan kepercayaan, sehingga para pihak berusaha untuk memenuhi
prestasinya. Lain halnya dengan penyewaan Rumpon pernah terjadi
wanprestasi berupa pembagian hasil tangkapan dibagikan tidak sesuai dengan kesepakatan,
sehingga berdasarkan asas kepercayaan pemilik Rumpon tidak lagi
menyewakan Rumpon-nya kepada pihak yang wanprestasi tadi.
Daftar Pustaka
Abdulkadir Muhammad, 2000. Hukum
Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
J. Satrio, 1999, Hukum
Perikatan – Perikatan Pada Umumnya, PT Alumni, Bandung.
Mariam Darus Badrulzaman, 2005,
K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, PT
Alumni, Bandung.
R. Subekti, 2003, Kitab
Undang-undang Hukum Perdata- Burgerlijk Wetboek, PT Pradnya Paramita,
Jakarta.
Riduan Syahrani, 2004, Seluk-Beluk dan
Asas-asas Hukum Perdata, PT Alumni, Bandung.
[1] Mariam Darus Badrulzaman, 2005, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan
dengan Penjelasan, Alumni Bandung, hlm.3.
Harrah's Cherokee Casino Resort - MapYRO
BalasHapusHarrah's Cherokee 양산 출장마사지 Casino Resort features 1,590 평택 출장마사지 rooms 부산광역 출장안마 and suites, 충주 출장샵 approximately 192,000 square feet of gaming and 남원 출장안마 more than 1,300 hotel rooms and suites,