Dampak Penambangan Minyak dan Gas Di Wilayah
Pesisir
(Studi di Kampung Terusan Desa Sebuntal Kecamatan Marangkayu Kabupaten
Kutai Kartanegara)
Oleh :
Haris Retno Susmiyati
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Samarinda Kaltim
Email : harisretno@yahoo.co.id
Abstract :
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia dan memiliki wilayah laut dengan luas lebih dari dua pertiga wilayah
nasional dan wilayah laut dengan luas lebih dari dua pertiga wilayah nasional
dan wilayah pesisirnya terletak disepanjang panatai yang panjangnya 81.000 km.
Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil
memiliki keragaman potensi sumber Daya Alam yang tinggi, dan sangat penting
bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan penyangga kedaulatan
bangsa. Pengelolaan wilayah pesisir berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-undang
Nomor 27 Tahun 2007 dilaksanakan dengan tujuan (1) melindungi, mengkonservasi,
merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan; (2)
menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan Pemerintah Daerah
dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau kecil; (3) memperkuat
peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif
masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau kecil agar
tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan; dan (4) meningkatkan nilai
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam
pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Salah satu potensi yang terdapat diwilayah pesisir
adalah penambangan Minyak dan Gas Bumi. Lebih dari 70% kegiatan perminyakan
akan berada di sekitar garis pantai. Pengaturan tentang Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001.
Namun
aktivitas penambangan tersebut telah menimbulkan berbagai persoalan seperti
yang terjadi di wilayah kampung Terusan Desa Sebuntal Kecamatan Marangkayu Kabupaten
Kutai Kartanegara oleh perusahaan pertambangan migas PT Unocal-Chevron.
Beberapa persoalan yang terjadi adalah kerusakan dan pencemaran lingkungan
pesisir; penurunan penghasilan masyarakat pesisir; terjadinya kekerasan serta
bergesernya nilai-nilai sosial yang dianut masyarakat.
Penghasilan setelah terjadi pencemaran
pantai sangat terpengaruh. Sebelum
terjadi pencemaran, pada saat musim bibit hasil tangkapan dapat mencapai 10.000
ekor dalam satu hari. Sekarang hasil yang terbesar tidak lebih dari 300 ekor
dan terkadang tidak ada sama sekali. Ketika musim angin utara adalah masa
dimana limbah Unocal masuk ke pantai Terusan sehingga musim angin Utara bukan
merupakan musim bibit lagi karena pada saat limbah masuk bibit udang
menghilang. Pengaruh limbah terhadap hasil tangkapan bibit mulai terjadi sejak
tahun 1987, namun dampak terbesar terjadi sejak tahun 1992 hingga sekarang.
Dampak tersebut hingga saat ini belum ada penyelesaian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 11
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen, ketentuan ini
melarang terjadinya pencemaran laut dan udara diatasnya, serta kewajiban untuk
mencegah meluasnya pencemaran tersebut.
Demikian juga Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Dampak Penambangan Migas PT Unocal-Chevron di
Kampung Terusan Desa Sebuntal Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara
perlu segera diupayakan penyelesaian. Upaya yang perlu dilakukan adalah
penegakan hukum terhadap terjadinya dampak yang merugikan serta segera
dilakukan rehabilitasi terhadap kondisi pesisir yang mengalami kerusakan dan
pencemaran lingkungan.
PENDAHULUAN
Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki wilayah laut dengan
luas lebih dari dua pertiga wilayah nasional dan wilayah laut dengan luas lebih
dari dua pertiga wilayah nasional dan wilayah pesisirnya terletak disepanjang
panatai yang panjangnya 81.000 km.
Wilayah
Pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi sumber Daya Alam yang
tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya,
lingkungan dan penyangga kedaulatan bangsa. Pengelolaan wilayah pesisir
berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 dilaksanakan
dengan tujuan (1) melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan
memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya
secara berkelanjutan; (2) menciptakan keharmonisan dan sinergi antara
pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-pulau kecil; (3) memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah
serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan; dan
(4) meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran
serta masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Salah satu
potensi yang terdapat diwilayah pesisir adalah penambangan Minyak dan Gas Bumi.
Selama puluhan tahun perekonomian Indonesia ditopang dari hasil
pengerukan Minyak dan Gas Bumi. Pertambangan minyak dan gas bumi merupakan
komoditas strategis yang menjadi salah satu andalan pendapatan bagi Indonesia.
Lebih dari 70% kegiatan perminyakan akan berada di sekitar garis pantai. Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi merupakan sektor yang penting sehingga diatur secara khusus
dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi.
Aktivitas
Penambangan minyak dan gas diyakini banyak pihak telah memberikan kontribusi positif
bagi pembangunan. Namun aktivitas penambangan tersebut telah menimbulkan
berbagai persoalan seperti yang terjadi di wilayah kampung Terusan Desa
Sebuntal Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara oleh perusahaan
pertambangan migas PT Unocal yang sejak tahun 2004 telah beralih kepemilikannya
kepada PT Chevron Indonesia. Beberapa persoalan yang terjadi adalah kerusakan
dan pencemaran lingkungan pesisir; penurunan penghasilan masyarakat pesisir;
serta bergesernya nilai-nilai sosial yang dianut masyarakat. Tulisan ini yang
merupakan hasil penelitian empiris, ingin mengungkapkan bagaimana dampak
penambangan minyak dan gas di wilayah pesisir Kampung Terusan Desa Sebuntal
Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur.
PEMBAHASAN
1. Pertambangan Migas di wilayah Pesisir
Minyak (Petroleum) berasal
dari kata Petro yang berarti Rock (batu) dan Leum yang berarti Oil (minyak). Minyak dan gas sebagian besar
terdiri dari campuran carbon dan hydrogen sehingga disebut dengan hydrocarbon yang terbentuk melalui
siklus alami dan dimulai dengan sedimentasi sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang
terperangkap selama jutaan tahun yang umumnya terjadi jauh dibawah dasar lautan
dan menjadi minyak dan gas akibat pengaruh kombinasi antara tekanan dan temperatur
yang dalam kerak bumi akhirnya berkumpul membentuk reservoir-reservoir minyak
dan gas bumi.
Pasal 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
mendefinisikan minyak bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang
dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat,
termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit dan bitumen yang diperoleh dari
proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon
lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan
dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
Gas bumi menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang
Minyak dan Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam
kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari
proses penambangan Minyak dan Gas Bumi.
Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi berdasarkan
ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 pasal 2, didasarkan pada ekonomi
kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan,
kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan dan
kepastian hukum serta berwawasan lingkungan.
Ketentuan Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 pasal 4 ayat 1 menyatakan
bahwa Minyak dan Gas Bumi merupakan sumber daya alam strategis tak terbarukan
yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. Pasal 2 dari ketentuan tersebut
menentukan bahwa penguasaan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan.
Selanjutnya ketentuan ayat 2 menyatakan bahwa pemerintah sebagai pemegang kuasa
pertambangan membentuk badan pelaksana.
Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang diatur dalam pasal 5
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 terdiri atas : (1) Kegiatan Usaha Hulu yang
mencakup eksplorasi dan eksploitasi; (2) Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup
pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, niaga.
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 11 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1973 tentang Landas Kontinen, ketentuan ini melarang terjadinya pencemaran laut
dan udara diatasnya, serta kewajiban untuk mencegah meluasnya pencemaran
tersebut. Demikian juga Undang-undang Nomor 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Perusahaan Minyak dan Gas yang beroperasi di Desa Sebuntal dan membawa
dampak bagi kehidupan wilayah pesisir Kampung Terusan adalah PT Unocal Indonesia yang sejak tahun 2004 telah beralih
menjadi PT Chevron Indonesia.
Unocal Indonesia Company merupakan
perusahaan grup Unocal Corp (Union Oil California) penambang minyak dan Gas Alam
asal Amerika Serikat. PT. Unocal Indonesia
menjadi salah satu pemain utama dalam pengembangan sumber daya energi di Indonesia
khususnya Minyak dan Gas sejak tahun 1960, saat Unocal menandatangani salah
satu “Production Sharing Contract” (Kontrak Production Sharing/KPS)
pertama di dunia dengan Pertamina perusahaan minyak nasional di Indonesia.
Unocal grup mengadakan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas di 12
negara, dengan operasi utamanya di Indonesia
dan Thailand.
Unocal memegang 10 kontrak Bagi Hasil (PSC) dan mengoperasikan tujuh proyek.[1]
Unocal mengoperasikan sembilan lahan produksi migas di lepas pantai Kalimantan
Timur, termasuk didalamnya lahan migas lepas pantai terbesar di Indonesia
yaitu Attaka, yang ditemukan pada tahun 1970. Unocal Indonesia merupakan pemegang saham
100% untuk KPS di Kalimantan Timur.
Unocal telah memperpanjang program eksplorasinya di lepas pantai
Kalimantan Timur dengan tambahan empat wilayah kontrak bagi hasil. Pada bulan
September 1997, Unocal mengumumkan penemuan terbarunya di prospek perairan
dalam Merah Besar di area kontrak Selat Makasar.
Unocal telah mendapatkan 50% working interest (saham) diarea kontrak
Selat Makasar (868.000 are, 3.516 kilometer persegi) yang sebelumnya dimiliki
oleh Mobil Oil. Sumur Merah Besar #6 mengikuti kesuksesan keenam sumur
eksplorasi laut dalam lainnya (Unocal 100% saham aktif) yang dibor didalam area
kontrak Unocal yang ada. Pada bulan januari 1988, sebuah sumur percobaan, Merah
Besar #5 di wilayah PSC Kalimantan Timur, menunjukkan hasil tes kemampuan
produksi sebesar 9.430 barrel minyak per hari. Pengeboran percobaan tambahan
kini sedang berjalan.
Wilayah Kontrak bagi hasil (KPS) Unocal termasuk Sesulu : 690.000 acres (2.797 kilometer
persegi); Rapak : 734.000 acres (2.937 kilometer persegi); Ganal : 1,2 million
acres (5.050 kilometer persegi).
Unocal memegang saham-saham (varying interests) dalam lebih dari
5,1 juta are (20.700 kilometer persegi) di lepas pantai Kalimantan Timur,
dengan 53 tempat pengeboran dan 411 sumur minyak dan gas. Ladang minyak yang
telah berproduksi adalah di Attaka, Melahin, Kerindingan, Santan, Sepinggan,
Seguni dan Pantai Yakin, dengan produksi rata-rata perhari untuk minyak bumi
sebesar 58.651 barrel dan gas alam sebesar 222 juta kaki kubik.Dua tahun
kemudian tepatnya tahun 1973, Union berhasil memproduksi minyak dan gas.
Pada Agustus 1998, Unocal mengumumkan penemuan sebuah lahan migas besar
di prospek Seno, yang juga terletak di wilayah PSC Selat Makasar. Sumur Seno
Barat #2 menunjukkan hasil tes kemampuan produksi harian sebesar 2.900 barel
minyak dan Gas 3,1 juta kaki kubik perhari. Pada Akhir
2004 PT Unocal Indonesia
beralih menjadi PT Chevron Indonesia.
2. Gambaran Umum Kampung Terusan
Kampung Terusan merupakan
salah satu wilayah Pesisir di Desa Sebuntal Kecamatan Marangkayu Kabupaten
Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur. Berdiri pada tahun 1972, Orang
yang pertama kali mendirikan kampung Terusan adalah Daeng Mangatta dengan 41
Kepala Keluarga lainnya.
Masyarakat Terusan merupakan
masyarakat yang datang dari Tanjung Jumelai Kabupaten Pasir. Penyebab mereka
meninggalkan Tanjung Jumelai karena daerah pertanian/sawah sudah tidak ada
karena tanah-tanah tersebut sudah dibagi oleh masyarakat yang lebih dulu
datang, sementara hasil yang didapat dari nelayan Bagang juga sangat sedikit.
Masyarakat dari Tanjung Jumelai ini sebelumnya adalah masyarakat yang berasal
dari Sulawesi Selatan Kabupaten Bone. Dan mereka hanya sempat bertahan selama
kurang lebih lebih 5 tahun di Tanjung Jumelai.
Pertama kali Daeng Mangatta
dan beberapa orang penduduk, memohon kepada kepala kampung Sebuntal untuk bisa
menempati dan berusaha di lokasi Terusan. Oleh Kepala kampung, permohonan
disampaikan dengan Camat Muara Badak (A.B.M. Yusup), sehingga oleh Camat
diberikan izin lisan bagi masyarakat Bone yang berjumlah 218 jiwa untuk
bermukim dan bertani di lokasi Terusan. Sekitar tahun 1979, dikeluarkanlah
Surat Keputusan No. 228/SB/SKT/1979 tentang tempat persawahan, perkebunan dan
tanah lokasi pemukiman penduduk dengan luas 500x500 meter, oleh kepala kampung
Sebuntal yaitu Daeng Masiga. Surat keputusan ini merupakan bukti yuridis bagi
masyarakat untuk mendiami kampung Terusan. Mata pencaharian masyarakat yang
utama adalah sebagai Nelayan, Petambak dan Petani Sawah.
Secara geografis, kampung
Terusan terletak pada dataran rendah yaitu dengan ketinggian sekitar 4 sampai 6
meter diatas permukaan laut. Tanah relatif datar dan kondisi tanah berawa
bercampur pasir. Permukaan yang datar ini menyebabkan sulitnya mendapatkan
sumber air bersih. Tanaman yang tumbuh disekitar perkampungan seperti bakau,
kelapa, nipah dan pohon-pohon yang tahan terhadap air asin. Terdapat pula hewan
yang hidup di semak belukar dan tumbuhan bakau seperti rusa, kijang, anjing
laut, tikus, ular, landak, Babi, dan lain-lain. Di air, hidup berjenis ikan
laut, seperti bandeng, tongkol, udang, kepiting dan lain-lain.
Wilayah
Kampung Terusan, dapat ditempuh dengan melalui jalur darat menggunakan kendaraan (mobil dan sepeda
motor) dari Samarinda, Marangkayu baru ke Terusan dengan jarak tempuh sekitar
83 km, atau sekitar 2 jam perjalanan. Kondisi jalan tanah belum beraspal, kalau
musim hujan, maka jalannya becek dan musim kemarau berdebu. Sepanjang jalan
menuju ke Terusan bisa disaksikan pipa-pipa minyak dan gas milik perusahan
vico, total dan unocal.
Gb.1: Peta wilayah kelola
masyarakat kampung Terusan
2. Dampak Penambangan Migas Bagi Masyarakat Pesisir Kampung Terusan
Dampak terhadap lingkungan
Terjadi banyak
perubahan pada lingkungan di Terusan akibat dari evolusi alam maupun akibat dari tangan-tangan
manusia (perusahaan). Terjadi abrasi pantai yang telah menelan tambak-tambak
yang ada dipantai Terusan. Akibat dari dibuatnya kanal yang benjarak hanya +
1,5 km dari pantai terusan menyebabkan pantai semakin terkikis, ditambah
hembusan angin dari arah selatan maka pasir dan tanah bergeser ke kanal dan
kanal selalu dikeruk oleh Unocal. Abrasi pantai terjadi dengan jarak 12 meter
pertahun.
Perubahan lain
adalah turunnya kualitas air laut. Air laut yang tercemar membunuh banyak biota laut
salah satunya adalah benur dan nener, karena dulu penduduk yang biasanya
mencari benur dalam satu jam dapat menghasilkan 10.000 ekor sekarang hanya
mampu memperoleh 20 ekor. Dan Tambak yang tercemar akibat dari air laut yang
terkena limbah, membunuh udang, ikan, kepiting dan biota yang ada didalam
tambak.
Dampak terhadap tambak
Khusus wilayah pesisir yang
di kelola menjadi lahan tambak di Terusan terdapat 150,5 Ha. Masyarakat membuka
tambak sejak ada izin untuk membuka usaha dikampung Terusan pada tahun 1974.
Tambak yang mereka kelola sangat berhasil dan menjadi kebanggaan mereka, tetapi
pada tahun-tahun sesudahnya tambak tidak menghasilkan apa-apa, yang biasa
penduduk Terusan sebut sebagai ”panen air”, artinya tidak ada udang
yang dapat dijaring/tangkap. Masyarakat tidak pernah lagi menikmati hasil dari
tambak mereka akibat dari benur yang mereka tabur mati semua. Kematian benur/udang menurut perkiraan
masyarakat akibat air yang masuk ke tambak-tambak mereka pada saat pergantian
air, karena tambak ada sirkulasi air, maksudnya agar udang-udang yang ada
ditambak segar. Tetapi kenyataannya
sekarang udang malah mati bahkan kepitingpun yang dianggap kuat terhadap
perubahan mati. Sementara bila air tambak tidak diganti maka benur/udangpun
akan lemas.
Ukuran luas tambak yang masyarakat miliki
bervariasi mulai dari luas ¼ ha hingga + 10 ha. Tetapi masyarakat
rata-rata memiliki luas lahan tambak antara 2 ha hingga 4 ha. Masyarakat yang
mempunyai lahan tambak yang luas tidak bisa memaksimalkan mengelola tambaknya
karena akan mengalami kerugian yang sangat besar. Dampak penambangan Migas PT Unocal mulai
dirasakan masyarakat sejak tahun 1993, diawali dengan H.Bakri yang membuat
surat ke Gubernur sebagai laporan atas kegiatan Unocal Tanjung Santan yang
setiap tahunnya mengadakan pengerukan pantai dan kanal yang mengakibatkan
dampak pada tambak yaitu;
1. Kayu dan besi perusahaan masuk ke tambak
2.
Pintu tambak menjadi rusak
3.
Lingkungan tambak di sekitarnya rusak
4. Pohon bakau sebagai pelindung tambak mati
5. Pembuangan limbah perusahan hanya berjarak
sekitar 200 meter dari pantai dan kalau pasang, air yang masuk ke tambak
bercampur dengan minyak
6.
Pematang tambak rusak
7. Pipa bekas pakai perusahan yang besar
merusak lingkungan dan pohon pelindung tambak.
8. Tambak tersebut tidak dapat lagi dipakai
untuk kegiatan budidaya ikan dan udang.
Pada tanggal 8 Januari 1999 Tim Laboratorium Managemen Sumber Daya Perairan Universitas
Mulawarman Samarinda mengadakan pemeriksaan sample air dengan hasil yaitu,
tambak H. Bakri mengalami pencemaran sehingga tidak dapat digunakan untuk
kegiatan pertambakan (budidaya Ikan dan udang). Tanggal 20 Februari 1999
dikeluarkan Rekomendasi rapat yang diadakan oleh Biro Lingkungan Hidup
Kabupaten Kutai yaitu;
1.Tambak H. Bakri seluas 18 heaktar dinyatakan tercemar oleh kegiatan UNOCAL
sesuai dengan hasil pemeriksaan hasil sample air oleh kepala Balai Laboratorium
Kesehatan samarinda Nomor. Lab.890/Lab.Kimia.-1993 tgl 24 November 1993.
2.Selain berdampak pada tambak H.
Bakri juga merusak kawasan pantai yang diakibatkan oleh kegiatan pengerukan
disekitar pelabuhan Unocal yang dilakukan setiap tahun.
Masyarakat Terusan yang hidup di sekitar
pantai Terusan adalah masyarakat nelayan yang memakai alat tangkap Rumpon dan
Poro. Rumpon dan Poro inilah adalah salah satu jenis alat tangkap tradisional
yang digunakan untuk menangkap Benur/ benih udang disekitar pantai Terusan,
pekerjaan mencari benur dan nener ini merupakan pekerjaan yang di lakukan hanya
3 bulan dalam satu tahunnya setelah itu bekerja sebagai petani dan petambak.
Dari hasil rumpon dan Poro diperoleh hasil dalam 1 harinya 1000 ekor bibit
udang X 30 hari X 90 hari : 270.000 ekor bibit udang, harga perekornya Rp. 50,- jadi dalam 1 musim penghasilan dari Rumpon
dan Poro Rp. 13.500.000,- hasil pendapatan tersebut di jual kepada petani
tambak yang datang dari Muara Badak, Kersik, Marangkayu, serta Tani Baru di
samping di pakai sendiri untuk mengisi tambak mereka. Namun penghasilan yang
besar dari Rumpon dan Poro berubah total
pada saat mulai tercemarnya pantai Terusan akibat adanya pembuangan limbah
minyak yang di lakukan oleh Unocal di pantai Rapaklama. Jarak antara tempat
pembuangan limbah hanya sekitar 2 KM dari kampung Terusan dan menurut
masyarakat pencemaran pertama kali terjadi pada tahun 1992, 1995,1997,1999
serta 2000 dan 2002
Sejak tahun 1997 hingga sekarang tambak tidak menghasilkan karena
terkena dampak dari limbah migas yang dibuang kelaut dan sekarang setelah
adanya penambahan panjang pipa pembuangan limbah sepanjang 1,5 Km, daerah yang
terkena dampak dari pembuangan limbah semakin luas saja, hingga ke daerah
Kresik (salah satu desa yang berbatasan dengan Desa Sebuntal).
Di Terusan sendiri sekarang kondisinya sudah demikian parahnya yang
menyebabkan tambak sudah tidak memiliki hasil. Walaupun ada petambak yang
sempat panen hasilnyapun tidak mencukupi modal yang telah mereka keluarkan
belum lagi tenaga yang telah dikeluarkan untuk mengelola tambak yang selama ini
tidak pernah mereka ikut perhitungkan besaran nominalnya. Akibatnya sekarang
banyak tambak yang dibiarkan begitu saja tanpa ada benih didalamnya. Tampak
secara kasat mata tambak-tambak tersebut tetap baik dan tidak ada yang rusak
tanggul-tanggulnya masih kokoh, airnya pun keluar masuk tetapi tidak ada yang
dapat hidup didalam tambak tersebut. Kalaupun ada yang hidup itu hanyalah ikan
laut yang sesat/kesasar masuk kedalam tambak tersebut dan tidak tahu jalan
keluarnya, dan kadang-kadang ikan inilah yang mereka jala untuk dikonsumsi. Dan
diduga telah terkena dampak pertambangan dari Unocal.
Tambak-tambak yang tercemar tersebut tidak dapat lagi diharapkan karena
setiap ditaburi bibit benur maka besoknya akan mati dan benur timbul, paling
lambat benur bertahan hingga tiga minggu. Setelah itu jarang benur mampu
bertahan. Tambak tidak menghasilkan apa-apa, dan bila ada yang panen maka hasilnya tidak sesuai dengan apa yang
telah dikeluarkan sebagai biaya, untuk
memulai tambak, membersihkan tambak, pemupukan, peracunan, penaburan
bibit, memberi pakan, hingga panen memerlukan biaya + Rp. 4000.000,
sementara kadang-kadang tidak menghasilkan (nol) dan hasil yang sering
diperoleh hanya Rp. Rp. 50.000 –Rp.
900.000. sehingga tidak balik modal, bahkan beberapa diantara mereka
harus berhutang untuk memodali tambak mereka.
Pengaruh limbah bukan hanya membuat panen gagal, tapi juga berdampak
pada kualitas udang. Menurut pengamatan masyarakat, udang yang terkena limbah
cepat membusuk, tidak seperti kualitas udang yang tidak terkena limbah.
Dampak terhadap nelayan
Pekerjaan Nelayan adalah
pekerjaan yang dilakukan secara musiman tergantung pada arah angin bertiup,
biasanya pada musim angin Utara dan Timur laut. Pada musim Angin Utara dan Timur
Laut ikan banyak. Bila hasil mencari ikan banyak maka bisa menghasilkan Rp.
1000.000 – Rp. 2000.000, dalam satu hari bisa menghasilkan 50 kg ikan tetapi
ini sangat jarang terjadi, satu tahun sekali. Ikan yang diperoleh adalah ikan
Tongkol, Kakap, Kembong, dan udang, diperoleh dengan cara menjaring atau
memancing. Bisa juga menggunakan trol tetapi ikan yang berhasil terjaring
bermacam-macam dan kecil-kecil tidak bisa dijual dan hanya dibagi-bagikan pada
tetangga atau keluarga saja.
Sejak air laut tercemar oleh
limbah, maka berdampak pada hasil tangkapan dan kualitas ikan. Untuk
mendapatkan ikan, para nelayan kampung Terusan terpaksa harus mencarinya pada
jarak yang cukup jauh dari pantai. Dan hal ini terkadang membahayakan, karena
terkadang nelayan terperangkap ombak. Para nelayan yang mendapatkan ikan sulit
memasarkan hasil tangkapannya, karena ternyata ikan tangkapan mereka berbau
minyak sehingga konsumen tidak mau membelinya.
Dampak terhadap aktivitas mencari benur
Mencari benur
dilakukan pada saat air konda, laki-laki dan perempuan turun kepinggir laut
untuk menangkap benur dengan tangguk yang biasa digunakan oleh perempuan dan
sungkur alat yang biasanya digunakan oleh laki-laki. Tetapi sekarang hasil dari
mencari benur sangat kecil sekali padahal penduduk sangat bergantung pada hasil
mencari benur terutama saat tambak dan sawah tidak ada hasil.
Pekerjaan merumpong adalah
pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Laki-laki
menggunakan alat tangkap yang bernama sungkur dan perempuan menggunakan
tangguk. Dulu sebelum air laut tercemar, setiap penduduk yang pergi mencari
benur, bisa memperoleh benur sekitar 5000 ekor. Bahkan kadang-kadang ada yang
memperoleh benur sebanyak 20.000 ekor. Artinya kalau satu ekor benur dijual
dengan harga Rp 50,- mereka bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp 250.000
perhari. Kalau hari baik masyarakat bisa berpenghasilan sampai 1000.000 per
hari.
Setelah terjadinya
pencemaran air laut, hasil rumpon tidak banyak karena benur tidak ada. Dalam
satu jam hanya menghasilkan 20 ekor saja. Sehingga dalam satu hari masyarakat
hanya memperoleh paling banyak sekitar 100 ekor. Kalau dijual dengan harga Rp 50/ekor maka satu hari hanya memperoleh
penghasilan sebesar Rp 5000,-. Padahal, uang sebanyak itu digunakan untuk memenuhi
kebutuhan yang cukup banyak. Hal ini sangat menyulitkan kaum perempuan.
Pekerjaan merumpong banyak
ditekuni oleh perempuan demi untuk membeli kebutuhan dapur dan untuk uang jajan
anak-anak mereka yang bersekolah. Para kaum laki-laki kini malas dan jarang
mencari benur disebabkan benur yang ada jumlahnya sedikit sehingga
penghasilannyapun tidak seberapa.Pekerjaan mencari bibit dilakukan oleh
perempuan bahkan perempuan dalam merumpon ini sangat dominan. Dan tiap hari
dikerjakan oleh perempuan, mereka berendam diair asin hingga berjam-jam.
Dampak terhadap kesehatan
Kondisi lingkungan ternyata berpengaruh
terhadap kesehatan masyarakat terutama kesehatan ibu-ibu yang sedang
mengandung. Ibu-ibu yang sedang hamil sangat rentan terhadap limbah. Limbah
yang mengotori air laut berbahaya bagi ibu hamil yang tetap melakukan pekerjaan
menanggok rumpong. Limbah kemudian mempengaruhi pertumbuhan janin dalam
kandungan ibu-ibu. Dari pengakuan masyarakat pernah terjadi kasus kematian bayi
yang masih dalam kandungan. Bahkan ada kasus kematian ibu saat melahirkan bayi.
Dalam kasus ini warga masyarakat hanya berani menduga saja karena mereka tidak
dapat membuktikan secara medis.
Kesulitan
mendapatkan sumber air bersih untuk kebutuhan dapur juga berakibat adanya
penderita penyakit perut dan muntaber. Selain itu, masyarakat juga sering
terkena penyakit kulit, gatal-gatal, pusing dan flu. Beberapa dari penyakit
tersebut disebabkan oleh kondisi lingkungan darat dan air yang tidak bersih.
Penduduk Terusan untuk kebutuhan air mandi, cuci piring, dan keperluan rumah
tangga lain (kecuali minum dan masak) menggunakan air sumur yang ada dikampung
tersebut, dan air sumur tersebut volumenya sangat sedikit dan bila musim
kemarau maka air sumur akan kering dan mereka menunggu hingga air keluar dari
celah-celah/rembesan disumur hingga dapat diambil lagi airnya.
Terjadinya kekerasan
Konflik dengan perusahaan
terjadi karena masyarakat mulai menyadari bahwa limbah perusahaan ternyata
membawa dampak yang buruk bagi usaha mereka. Para penambak sejak tahun 1992
mulai gelisah dengan menurunnya hasil tambak. Kemudian nelayan juga merasa
dirugikan karena ikan tangkapan mereka tidak laku dijual. Semua kegagalan
tersebut diakibatkan karena minyak yang berasal dari perusahaan dibuang begitu
saja di laut. Air laut yang tercampur dengan limbah kemudian masuk ke tambak
masyarakat dan mengakibatkan ikan, udang dan kepiting mati.
Masyarakat yang mulai kritis
kemudian mengorganisir diri untuk melawan perusahaan. Berbagai usaha dialog
telah ditempuh, seperti misalnya berdialog dengan para anggota DPRD Kaltim pada
tanggal 8 Mei 2000. Usaha-usaha yang ditempuh masyarakat tidak membuahkan hasil
yang memuaskan. Sehingga terjadilah demontrasi besar-besaran yang dilakukan
pada tahun yang sama. Masyarakat
memblokade perusahaan selama 1 bulan. Demontrasi ini dilakukan secara serentak
oleh masyarakat Terusan, Marangkayu dan Rapak lama. Saat demontrasi
berlangsung, perusahaan menggunakan kekuatan militer (Brimob) untuk menghadapi
rakyat. Demonstran kemudian ditembak dengan peluru karet dan peluru timah. Di
kampung Terusan tercatat ada 7 orang korban penembakan Brimob. Berikut ini adalah daftar nama korban
dalam insiden tersebut:
Tabel 1: Daftar nama korban penembakan oleh aparat
Brimob
No
|
Nama Korban
|
Jenis kekerasan yang diderita
|
1
|
Nasrin
|
Terkena
peluru karet
|
2
|
Atok
|
Tertembak
peluru karet
|
3
|
Mading
|
Kena
peluru karet
|
4
|
Andi
Basok
|
Kena peluru karet dan pemukulan memakai rotan
|
5
|
Tolah
|
Kena peluru karet dan pemukulan rotan
|
6
|
Basri
|
Kena
tembak peluru timah
|
7
|
Arifudin
|
Ditangkap
dan dipukuli.
|
4. Respon Perusahaan
Paska aksi masyarakat yang
direspon perusahaan dengan mengerahkan Brimob, maka perusahaan mengeluarkan
kebijakan Community development (Comdev).
Comdev dimaksudkan untuk meredam
gejolak yang ada di masyarakat. Para aktivis kampung yang berani dan dianggap
vokal kemudian dikebiri dengan cara memasukan mereka dalam sebuah organisasi
yang diberi nama Komite Masyarakat Marangkayu. Organisasi yang dibentuk atas
inisiasi perusahaan UNOCAL ini kemudian mengambil alih secara sepihak
hak mengajukan pendapat dengan menampilkan diri sebagai wakil masyarakat. Sepak
terjang KMM tidak hanya berhenti pada penampilannya yang selalu mau mewakili
masyarakat, tapi juga mulai memainkan peran dalam memanipulasi data bantuan
Comdev. Bantuan uang sebanyak 1 juta per/ha tambak (empang) ditengarai terjadi
usaha manipulasi data oleh oknum kampung. Hal ini bisa terlihat dari adanya
perbedaan data pada proposal yang diajukan dengan yang di perlihatkan kepada
masyarakat.
Selain persoalan diatas pengucuran program comdev sampai hari ini belum
mampu menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat akibat pencemaran wilayah
hidupnya.
5. Upaya Masyarakat untuk Mengatasi Persoalan
Selama tahun 2007-2008 dengan inisiatif dari Yayasan Pengembangan
Kampung (YPK) Kaltim masyarakat mulai mengembangkan budidaya rumput laut di
lokasi tambak. Jenis yang dikembangkan adalah Glacillaria Sp. Dalam perkembangannya cukup bagus, namun upaya ini
jika dibandingkan kondisi ekonomi masyarakat sebelum terjadi pencemaran masih
relative kurang penghasilannya mengingat harga rumput laut kering hanya Rp.
2.500,- per kilogram. Sedangkan harga udang kualitas baik dapat mencapai Rp.
140.000,- perkilogram. Namun upaya budidaya rumput laut ditambak jauh lebih
baik dibandingkan masyarkaat hanya dapat “panen air” saja.
PENUTUP
Beroperasinya perusahaan
pertambangan Migas PT Unocal Indonesia
(beralih menjadi PT Chevron tahun 2004) telah membawa dampak bagi kehidupan
masyarakat di pesisir Kampung Terusan Desa Sebuntal Kecamatan Marangkayu
Kabupaten Kutai Kartanegara. Beberapa dampak yang terjadi adalah : (1) Dampak
terhadap lingkungan; (2) dampak terjadinya pencemaran tambak; (3) Dampak
menurunnya penghasilan Nelayan; (4) Menurunnya penghasilan menangkap benur; (4)
Terjadinya kekerasan dalam aksi masyarakat.
Berbagai
persoalan tersebut hingga kini belum mendapatkan penyelesaian, Berdasarkan
ketentuan Pasal 8 dan Pasal 11 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas
Kontinen, ketentuan ini melarang terjadinya pencemaran laut dan udara
diatasnya, serta kewajiban untuk mencegah meluasnya pencemaran tersebut. Demikian
juga Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dampak Penambangan Migas PT Unocal-Chevron di
Kampung Terusan Desa Sebuntal Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kartanegara
perlu segera diupayakan penyelesaian. Upaya yang perlu dilakukan adalah
penegakan hukum terhadap terjadinya dampak yang merugikan serta segera
dilakukan rehabilitasi terhadap kondisi pesisir yang mengalami kerusakan dan
pencemaran lingkungan.
Daftar Pustaka
A. Literatur
Abrar Saleng, 2004, Hukum
Pertambangan, UII Press, Yogyakarta;
Anonim, 2004, Laporan
Pemetaan Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT) Kaltim, TKPT,
Samarinda.
Anonim, 2006, Menguak
Tabir Perubahan, JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), Jakarta;
Rudi M. Simamora, Hukum
Minyak dan Gas Bumi, Djambatan, Jakarta;
Salim HS, 2004, Hukum
Pertambangan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta;
Shidarta dkk, 2005. Menuju
Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia,
Bapenas Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar